Kesalahan di masa lalu harusnya jadi guru yang baik di masa
depan. Tapi sepertinya hal ini masih belum bisa dijadikan pedoman hidup bagi sebagian masyarakat kita, khususnya dalam berpolitik.
Di momen besar seperti Pilkada 2018 ini, ada
saja pemilih yang masih melakukan metode lama yang kurang kondusif. Pengalaman ricuhnya
Pilkada Jakarta beberapa waktu silam seolah berulang. Seperti halnya ketika pemilih
kandidat tertentu tak mampu mengontrol diri untuk menyerang kandidat lain.
Hasil perhitungan suara pun jadi senjata yang digunakan untuk menjatuhkan wibawa dan martabat calon tertentu.
Tindakan yang kurang bijak ini terhimpun dalam sebuah postingan artikel dari media Kompas online di Facebook. Artikel berjudul “Quick Count” SMRC Pilkada Sumut Pukul 13.4 WIB: Edi-Musa Unggul’ yang diposting sekitar pukul 14. 00 WIB itu dengan cepat direspon oleh sejumlah netizen. Hasil Quick Count sementara ini menunjukkan bahwa paslon 1 Edi-Musa lebih unggul dari paslon 2 Djarot-Sihar. Data ini pun dijadikan sebagai bahan olokan oleh para pendukung paslon 1.
Di kolom komentarnya, tampak pendukung dari kedua paslon
saling mengutarakan pandangannya. Tak sedikit pula dari mereka yang mengolok dan bersyukur akan kekalahan paslon 2.
Berikut kutipan dari komentar-komentarnya.
“data masuk baru 15%, masih terlalu jauh.. Djarot is the best,” tulis pemilik akun Gems Louis.
Tak lama kemudian ini dibanjiri
balasan nyinyir dari pendukung paslon 1. “Hahhahahhaa jauh jarak nyaa kasian Djarot Jakarta gagal Sumut gagal ….,” tulis Rizki BF.
Netizen lain ikut menimpali, “Rot
sini rot pulang ke blitar ayo urus pemakaman bung karno aja… Bandel sih q mini dibilangin
jangan ambisi kesana kemari gak nurut…Pulang sini… Cuci kaki tangan makan lalu tidur siang nanti jam 4 bangun pergi ngaji,” tulis Trie Hanie.
Banyak dari komentar tersebut menunjukkan
sikap penolakan atas pencalonan Djarot sebagai Gubernur Sumut. Apalagi dia
diketahui bukan putra asli daerah Sumut dan terlebih dirinya sudah pernah gagal
dalam Pilkada Jakarta saat digandeng oleh rekannya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Djarot dinilai terlalu ambisius dan diminta untuk kembali ke kota asalnya Blitar.
“Emangnya putra daerah sumut g ada
yg mampu mimpin daerahnya . Jarot tau apa tentang sumut .,” tulis Herman Lapender.
“Mungkin nyalon jadi gubernur
ketinggian buat pak djarot. Coba sekali kali ikut Pilkades, siapa tau jodohnya disitu..” komentar Herie Ferdian.
Komentar-komentar nyinyir tersebut
kemudian dibalas oleh seorang pendukung paslon 2. Dia berharap para pemilih
disadarkan untuk memilih pemimpin yang terbaik dan bukan karena alasan agama dan juga latar belakang.
“TUHAN berikan yg terbaik, kalau masyarakat sumut menghendaki kehancuran dan hatinya degil Tuhan membiarkan edi menang, namun kalau masyarakatnya mau bertobat dan mau menjadikan jarot menang….. selama ini medan (sumatra) pilihannya kepada pejabat korup… terbukti banyak yg ditangkep kpk…” tulis August Tambunan.
Sayangnya, komentar tersebut
kembali diserang oleh pendukung Edi-Musa. Mereka meminta supaya August tak
bawa-bawa nama Tuhan dalam hal ini. “Jangan bawa2 nama Tuhan, hahahah. Jangan
salahkan Tuhanmu kasihan,hahahah.djarot pulang kampung… Djarot pulang kampung…bisa di pastikan sekarang jarot lagi ngamuk marah2,” balas Adhi Muhammad.
Seperti dikutip, hasil Quick Count yang
masuk sampai pukul 13.40 WIB tadi siang menunjukkan paslon 1 Edi-Musa mendapat
perolehan suara 65.73% sedangkan paslon 2 Djarot-Sihar memperoleh 34.27% suara
dari total 15% suara yang sudah masuk.
Sebagai pembaca sekaligus pengguna
sosial media, kita tentu saja akan mudah terpancing untuk berkomentar,
terkhusus saat babak penentuan hasil pemungutan suara saat ini Namun perlu
ditekankan bahwa dengan menyampaikan komentar-komentar yang menyudutkan atau
menyerang seperti di dalam kasus ini, kondisinya malah akan semakin buruk. Tanpa
sadar masyarakat terjebak dalam perpecahan yang tak berarti. Politik bukan lagi
arena untuk memilih pemimpin terbaik, tapi justru jadi arena unjuk kehebatan.