Ada banyak hal di dunia
ini yang tidak berjalan dengan semestinya. Namun, karena tidak ada yang
mengoreksi maka hal yang sesungguhnya keliru sering dianggap sebagai sesuatu
yang wajar. Ini sangatlah berbahaya karena jika terus-menerus didiamkan maka semua yang di atas bumi akan menjadi abu-abu.
Orangtua adalah garda
terdepan di dalam mengajarkan kebenaran kepada anak. Sebagai orang Kristen,
maka kebenaran yang kita ajarkan adalah kebenaran berdasarkan Alkitab. Kita pun
meyakini (mengimani) bahwa firman Tuhan merupakan jawaban atas semua persoalan kita.
Salah satu persoalan yang
dihadapi oleh orangtua sampai hari ini adalah bagaimana jika anak kita yang
berjenis kelamin A justru menyenangi hal-hal yang berkaitan dengan lawan jenis
mereka. Dengan bahasa yang lebih lugas bagaimana mendidik anak laki-laki yang justru lebih menyukai hal berbau perempuan seperti boneka Barbie?
Tindakan yang umum dilakukan orangtua khususnya seorang ayah saat melihat anak yang seperti ini biasanya adalah marah, memukul sampai anaknya minta ampun, dan hal-hal yang dikategorikan pendisiplinan. Lalu apakah ini tepat kita lakukan kepada seorang anak?
Baca Juga: Setia Perkara Kecil, Anak Kepala Sekolah Ini Dikuliahkan Gubernur Sulut Ke Amerika Serikat
Psikolog Elizabeth T.
Gershoff dari Universitas Texas, Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa dari studi
yang mereka lakukan bahwa pukulan tidak efektif untuk menghukum anak.
Sebaliknya, pukulan justru membuat anak berperilaku buruk. Lalu, apa yang harus dilakukan?
Dasar Alkitab untuk setiap orangtua di dalam mendidik anak adalah Amsal 22:6.
“Didiklah orang muda
menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.”
Dari ayat di atas, kita menemukan frasa “menurut jalan yang patut baginya”. Dengan pemahaman ini kita mengetahui berarti ada yang jalan tidak patut bagi seorang anak. Apakah itu? Jalan yang di luar firman Tuhan!
Ketika seorang anak laki-laki memilih untuk bermain boneka Barbie dan ikut mendandani maka itu bukanlah jalan yang patut baginya. Mengapa? Karena jika pun harus memilih boneka maka boneka yang ia pilih harusnya satu gender dengannya atau berupa hewan.
Boneka Barbie identik dengan
boneka perempuan yang cantik. Imajinasi yang terbangun ketika memainkannya pastilah imajinasi sebagai seorang perempuan.
Pada usia di bawah lima
tahun, orangtua perlu menerapkan kata-kata yang intinya adalah “tidak boleh”.
Gunakan kalimat lain tapi tetap bisa dimengerti oleh anak laki-laki seperti, “Boneka
Barbie, mainan untuk anak perempuan ya, bukan untuk abang” atau “Abang kan laki-laki, mainnya boneka Winnie The Pooh ya, bukan Barbie.”
Jika sudah bisa diajak
berbincang maka di sini orangtua perlu berbicara dari hati ke hati kepada anak
bahwa tidaklah semestinya seorang anak laki-laki berimajinasi sebagai seorang
perempuan. Kata kepadanya bahwa Tuhan dari sejak semula menciptakan seorang
laki-laki utuh dirinya sebagai laki-laki. Begitu pun perempuan. Ia menciptakan perempuan secara utuh sebagai perempuan.
Sampaikan kepadanya ayat Alkitab dari Kejadian 1:27:
Maka
Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar
Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.
Selain itu, sebagai
orangtua, kita perlu juga untuk mendoakan anak laki-laki kita. Kita mencabut
dan merobohkan benteng-benteng pikiran yang bukan dari pada Tuhan. Lalu
kemudian membangun dan menanam pikiran seperti Kristus ke dalam pikiran anak laki-laki kita.
“Ketahuilah, pada hari ini
Aku mengangkat engkau atas bangsa-bangsa dan atas kerajaan-kerajaan untuk
mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam.” (Yeremia 1:10)
Ayah dan ibu harus sepakat
di dalam doa karena Tuhan merespon kesepakatan. “Dan lagi Aku berkata kepadamu:
Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga,
permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga.” (Matius 18:19)
Mungkin di dalam proses
mendidik nanti ada respon negatif yang ditampilkan oleh anak laki-laki kita. Namun,
tetaplah berpegang pada firman Tuhan, didiklah terus dalam kasih, dan setia ajarkan
kebenaran-Nya. Percayalah, usaha kita
ini tidak akan sia-sia. Hati kita justru pasti akan bersukacita karena dapat melihat
hidupnya ada di dalam kebenaran.
“Bagiku tidak ada sukacita
yang lebih besar dari pada mendengar, bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran.”
(3 Yohanes 1:4)