Sebelumnya, kita sudah membahas mengenai 2
masalah yang sering menjadi tembok penghalang bagi generasi milenial. Nah, yuk kita lanjut 3 lainnya dibawah ini..
3 Merusak tradisi
Akselerasi dan disruptif teknologi memang mendorong
para milenial untuk terus menerus menantang inovasi. Kita didorong untuk menciptakan sesuatu yang baru dan membuat kehidupan yang jauh lebih baik.
Generasi milenial memang kreatif,
idenya selangit seiring dengan banyaknya kesempatan yang kita hadapi. Namun hal
ini tidak lantas membuat kita
bisa memaksa orang lain untuk mengikuti setiap cara pandang dan keinginan kita.
Jalan pintas banyak dipilih oleh
generasi ini, bahkan tidak jarang kita memaksa untuk membangun sebuah bisnis
padahal belum punya kapasitas diri untuk sampai disana. Kita menyadari kalau
tidak ada jalan pintas menuju sukses, tapi masih sering mencari-cari cara mudah untuk mencapai kesuksesan.
Kita boleh penuh dengan inovasi,
ide dan cara-cara cepat untuk mencapai kesuksesan, namun satu hal yang tidak
kita punya, yaitu pengalaman. Hargai orang-orang yang telah mendedikasikan
banyak waktunya untuk pekerjaan yang mereka lakukan. Jadikan pengalaman mereka sebagai pembelajaran, bukan sesuatu yang harus kita paksakan untuk berubah.
4. Sering jadi kutu loncat
Teknologi yang tumbuh bersama kita generasi
milenial memang membuka banyak kesempatan dan lapangan pekerjaan yang baru. Hal ini membuat kita menyepelekan pekerjaan yang sering kita lakukan.
Jika kita dihadapkan dengan situasi yang tidak
nyaman dan tidak sesuai dengan keinginan, maka mudah sekali untuk menyerah dan
berkata bahwa pekerjaan tersebut tidak cocok dengan kita dan mulai mencari
perusahaan lain. Hal ini terutama banyak dialami oleh kita yang berasal dari
almamater ternama di usia 20-an. Rasanya sudah menjadi hal biasa jika seseorang berganti-ganti pekerjaan.
Mengganti pekerjaan bukanlah sebuah masalah.
Namun kita juga harus melihat diri sendiri dengan kemampuan dan pentingnya menyesuaikan diri. Adaptasi merupakan bagian penting dari profesionalisme.
5. Memiliki sikap yang buruk
Pernah tidak melihat seseorang harus kehilangan
pekerjaan lantaran sering curhat di media sosial? Generasi milenial sangat erat
dengan teknologi, terkadang kita lupa kalau hal ini bisa menjadi boomerang bagi
kita sendiri. Kalau kita tidak menjaga sikap kita, maka hal ini dengan mudah akan terekspos.
Salah seorang teman saya pernah melamar
pekerjaan di sebuah perusahaan start up. Di tengah-tengah wawancara, ia
ditanyai nama platform media sosialnya. Karena kebiasaan teman saya ini adalah
curhat mengenai pekerjaan terdahulunya, ia di cap buruk oleh para pewawancara ini.
Hal ini bukan tanpa alasan kok, orang-ornag
dalam lini masanya menganggap dirinya sebagai representasi dari perusahaannya.
'Omelan'nya di media sosial tidak hanya mencirikan siapa dia, namun juga bisa membawa citra buruk perusahaan maupun orang lain yang terlibat.
Kita harus menyadari kalau dunia digital
merupakan sebuah wadah yang menggambarkan diri kita. Media sosial sedikit
banyak mencerminkan siapa kita, kepribadian kita, dan bagaimana pola pikir kita.
Hal ini punya sisi positif dan negatifnya tersendiri. Negatif karena kita tidak
bisa 'bebas' berpendapat, namuan positif karena melalui platform inilah kita
bisa membangun sebuah brand image untuk diri kita sendiri. Jadi, manakah yang akan kita pilih?
Dear milenials, kita harus sadar kalau keahlian
itu pasti bisa dilatih. Ada sebuah penelitian tentang kaidah 10.000 jam. Siapa
pun kita, apa pun kita, untuk dianggap sebagai seorang ahli, kita hanya perlu
waktu selama 10.000 jam ini.
Penelitian diatas menjelaskan bahwa keahlian
itu memang bisa dilatih seiring dengan berapa jumlah waktu yang kita
dedikasikan terhadap kegiatan tersebut. Namun tidak untuk kepribadian. Memiliki
kepribadian yang baik adalah syarat mutlak agar kita bisa meraih kesuksesan di
dunia profesional.