Biasanya, pengiringan pujian bagi
gereja Katolik sangat identik dengan organ klasik dan paduan suara. Kali ini,
Gereja St. Markus, Desa Ngandagan, Kecamatan Pituruh, Kabupate Purworejo
mengadakan misa Paskah dengan diiringi rebana dan gamelan selayaknya musik kasidah.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), kasidah bermakna sebuah bentuk puisi yang berasal dari
kesusastraan Arab, bersifat pujaan (satire, keagamaan), biasanya dinyanyikan (dilagukan).
"Secara notasi musikal memang berbeda dengan selawat yang terdengar di musala, tapi kami menyebutnya selawatan Katolik. Kalau selawat Nabi kan memuji kemuliaan Nabi Muhammad SAW. Nah, ini juga memuji kemuliaan Yesus," ucap Romo Widyo dalam wawancaranya bersama Liputan6 Selasa, 3 April kemarin.
Baca juga: Perayaan Paskah Kaya Akan Toleransi dan Kebersamaan, Inilah Cuplikan Pawai Obor Di Sentani
Toleransi bisa dimaknai dengan
wujud apa pun. Romo Widyo kemudian merespon keinginan warga untuk mengakomodasi
tradisi toleransi yang sudah ada sejak zaman kuno dengan pemakaian rebana
sebagai musik pengiring. Menurutnya, hakikat musik adalah universal. Apalagi alat musik, tidak ada agama bagi alat musik.
"Memang biasanya gereja
Katolik identik dengan organ klasik dan paduan suara model gregorian. Lah Kalau
di Jawa ada samroh, ada selawat yang bisa kita manfaatkan sebagai bentuk penghormatan budaya, kenapa tidak?" Jelas Romo Widyo.
Kasidah memang sangat
diidentikkan sebagai nyanyian puji-pujian untuk kaum Muslim. "Karena nada
itu universal, irama, tone, timbre dan semua yang berakrab dengan musik itu netral, maka saya mencoba membumikan makna kasidah dari KBBI," katanya.
Romo Widyo mengatakan kalau toleransi dan kerukunan bisa terjadi kalau saling mengenal dan memahami.
Tahun Ini, perayaan Paskah di
Gereja St Markus Pituruh bertemakan membentuk komunitas yang solider. Dengan
ini, jemaat diajak untuk kembali merenung dan meneliti perilaku seputar saling
percaya, saling mendukung dan saling menolong.