Ray, nama akrab saya. Prayson Yusta, untuk
lebih lengkapnya. Saya terlahir dari keluarga yang serba berkecukupan, bahkan
tergolong menengah atas bikin saya punya banyak teman, bisa melakukan apa pun.
Mudah saja bagi saya untuk mendapatkan uang. Usaha keluarga mencukupkan segala kebutuhan kami sekeluarga.
Hingga suatu saat, Papi mencegat saya yang baru
pulang latihan basket. “Ray, Papi mau tutup toko. Papi akan fokus untuk
pelayanan,” terang Papi. Tentu saja, saya langsung berpikir kepada semua kemudahan yang selama ini saya dapatkan.
Apa pun keinginan saya, dengan mudah bisa
didapatkan dari Papi. Kebiasaan belanja, menyenangkan teman-teman dengan uang
yang saya miliki, semua itu akan hilang seiring keputusan Papi yang memilih untuk menjadi seorang pelayan Tuhan.
Marah? Sudah pasti. Saat itu, saya merasa kalau
saya adalah orang paling kaya. Namun keputusan Papi bikin kehidupan saya banyak
berubah. Sikap pemberontakan ada dalam diri saya. Sikap itu saya wujudkan dengan tidak pulang berhari-hari.
Kalau saja bukan seorang pelajar, mungkin
keinginan untuk pulang akan sirna dari benak saya. Menyadari kalau saya adalah
seorang pelajar yang harus sekolah mengantarkan saya untuk sampai ke depan pintu rumah. Saya pulang.
Mami menyambut saya dengan sukacita. Lain
halnya dengan Papi. Ia marah, melontarkan kata-kata dengan nada tinggi.
Rasanya, saya ingin memukulnya, bukanlah masalah bagi saya untuk meninju wajah papi.
Namun saya merasa kalau hal tersebut tidak
perlu dilakukan. Saya bisa menahan diri. Selang beberapa saat saya masuk ke
dalam kamar, papi mengetuk pintu. Ia meminta maaf karena telah bersikap kasar kepada saya. Saya memaafkannya.
Beberapa tahun setelahnya, ketika sudah masuk ke dunia professional dengan penghasilan yang lumayan, salah seorang teman bersikeras untuk mengajak saya merasakan surga dunia. Awalnya saya masih bisa bilang tidak.
Baca juga: Bukan Dengan Ilmu Yang Kumiliki, Tetapi Inilah Caraku Mendapatkan Cinta Sejati, Christiana
Kedua kali, kata tidak masih menjadi jawaban
saya. Tetapi sikap keras dan kegigihan dari teman akhirnya berhasil merasuki saya. Kami pergi
ke sebuah club malam. Minum-minuman keras dan menikmati lantai dansa. Hingga
akhirnya, saya ditawari ekstasi. Tentu saja saya menolak karena tahu ini bisa menjadi candu.
Lagi. Paksaan itu akhirnya berhasil membuat
saya penasaran dan memutuskan untuk mencobanya. Satu pil, dua pil, tiga hingga
akhirnya saya kecanduan. Hampir setiap malam saya merasakan nikmatnya surga dunia itu.
Meskipun demikian, ada perasaan takut akan
Tuhan dari dalam lubuk hati saya. Hingga akhirnya saya mendapati tubuh saya
berada pada ujung meja bar, menenggak 4 pil, namun masih tidak merasakan apa
pun. Tidak ada kenikmatan yang biasa menghampiri sesaat saya menenggak pil tersebut.
Teman saya menghampiri, ketika saya menoleh,
saya melihat seluruh ruangan menjadi gelap. Saya tidak bisa melihat apa pun.
Saya kalap. Saya minta teman saya untuk mengantar pulang ke rumah. Saya merasa kalau saat itu, kematian sudah dekat bagi saya.
Papi dan mami menghadapi saya yang
kejang-kejang sambil berdoa dan berserah kepada Tuhan. Saya tahu kalau saya
akan mati. Satu hal yang masih ada dalam hati saya, kalau saya ingin mendapatkan sebuah kesempatan lagi dari Tuhan.
Dan kesempatan tersebut diberikan. Satu bulan
lamanya saya dirawat. Kendati demikian, masih ada perasaan dalam hati untuk kembali ke dunia yang dulu, dimana saya bisa merasakan surga dunia tersebut.
Suatu hari saya beranjak dari tempat tidur,
hendak kembali ke dunia lama saya. Saat sedang bersiap, tiba-tiba saya
mendengar ada suara orang menangis. Saya kira itu adalah mami atau papi yang
sedang berdoa, karena biasanya, mereka akan mengambil waktu sejenak untuk berdoa pada tengah malam.
Saya menghampiri kamar mereka, namun tidak juga
ada orang yang menyaut. Sesampainya di kamar, suara tangisan tersebut semakin
kencang. Kali ini, ada suara “jangan sakiti hatiKu lagi, nak. Selamatkan
jiwa-jiwaKu.” Saya sadar kalau itu adalah suara Tuhan.
Saya telah membuat Tuhan menangis, saya
mengkhianati orang tua. Kesabaran Tuhan, kasih karuniaNya kepada saya menyadarkan
saya untuk kembali kepadaNya. Saya kehilangan teman-teman yang sering
menghabiskan waktu bersama, saya kehilangan keuangan yang dulu saya punya. Tetapi
satu hal yang saya tahu, Tuhan Yesus tidak akan pernah sedetik pun meninggalkan
saya.