Saya sangat menyukai
sosial media, dan hampir setiap hari saya akan melayani anak-anak muda melalui
sosial media. Mulai dari menulis, konseling hingga berdoa bersama.
Beberapa waktu yang lalu,
Tuhan mengirimkan seorang anak untuk sharing kepadaku. Seperti biasa, saya
sangat memiliki semangat yang berapi-api untuk itu.
Namun sebelum menjawab dan
melayani mereka, saya akan memberikan sejenis pertanyaan yang menjadi password
buat saya secara pribadi, dimana saya bisa bersiap menarik nafas dan meminta
Roh Tuhan mengurapi dan berpikir mengenai bahasa yang pas sesuai usia.
“Iya, shalom apa yang saya
bisa bantu? Boleh sebutkan nama kamu serta usia berapa?”
Dan mereka akan
menjawab sesuai dengan pertanyaan.
“Halo kak, namaku Karen
dari Jakarta dan usiaku 16 tahun. Kak mau curhat dong.”
Nah, saat inilah saya akan
bersiap merespon sesuai umur dan mereka akan bercerita dengan nyaman.
Karen merupakan anak yang
hits dan masih remaja.
“Kak, aku menyukai seorang
pria di gerejaku. Dia nggak tampan sih kak, tapi saat aku lihat dia, rasanya
aku damai dan tenang. Dia sangat takut Tuhan dan saat dia bermain musik atau
bernyanyi membawa penyembahan, Karen merasa semakin tertarik dan pengen banget
jadi pacarnya. Tolong doakan ya kak.”
Saya meresponi dengan
baik. Dan itu cukup bagi dia hari itu, lalu saya ajak dia berdoa dengan konteks
yang benar.
Beberapa hari kemudian,
dia lalu hubungi saya dengan masalah yang sama. Saya lalu memberi arahan lagi
dan lagi untuk berdoa saja dan minta Tuhan kasih jawaban.
Berminggu-minggu hingga
berbulan-bulan, dia masih saja bercerita hal yang sama, sampai pada satu titik
dia berkata:
“Kok Tuhan nggak jawab doa
Karen sih kak? Tuhan nggak mau yang terbaik buat Karen ya? Tuhan nggak mau
lihat Karen bahagia ya? Itu cowoknya padahal baik kak. Apa Tuhan maunya saya
sama cowok yang nakal ya? sambil dia menangis.
Kisah Karen merupakan
kisah yang sama persis pernah dilalui banyak orang. Ingin mendapatkan sesuatu
dengan penuh semangat namun saat tidak berhasil, mulai menyalahkan Tuhan.
Saat saya menemui seorang
teman bernama Dinda dan bertanya “kenapa belum menikah usia 35 tahun.” Dengan
wajah putus asa, dia menjawab:
“Sepertinya aku udah nggak mau menikah lagi. Tuhan nggak jelas, saat punya
pacar, selalu saja putus dan nggak berlangsung lama.”
Saat saya bergumul dalam
hari saya, Tuhan mengingatkan saya sebuah firman di Matius 6:33:” Tetapi
carilah dulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambakan
kepadamu.”
Ayat ini sangat powerful bukan?
Kebanyakan dari kita
berusaha mendapatkan sesuatu dengan penuh ambisi tanpa bertanya “Apakah
kehendak Allah atau bukan?”
Seperti Karen yang penuh
ambisi ingin menjadi pacar seorang pemain musik digerejanya, dan dia berdoa
seakan memaksa Tuhan menjadikan itu nyata. Pertanyaanya: Apakah itu adalah
ketetapan yang Tuhan sudah buat dalam hidup Karen? Apakah saat memutuskan pacaran,
Dinda bertanya dulu ke Tuhan mengenai pria-pria itu?
Saya rasa tidak. Sehingga
itulah yang membuat mereka kecewa.
Kisah ini mengingatkan
saya secara pribadi bahwa seharusnya kita memikirkan hati Tuhan dan kemauanNya
sebelum kita mengambil sebuah keputusan. Dan saya percaya bahwa ini juga memberkati
teman-teman sekalian.