Seperti halnya orangtua
pada umumnya, saya Esther Silalahi bersama dengan suami sangat
gembira menyambut kehadiran anak pertama kami, Oswin. Oswin lahir pada 17
Oktober 2003. Harapan kami kepada dia sederhana yakni dia nanti akan punya hubungan yang kuat sama Tuhan Yesus dan bisa membuat hatinya selalu gembira.
Namun ketika umur 9 bulan, kami menemukan Oswin ternyata mengalami keterlambatan dalam berbagai macam perkembangannya. Pada usia 13 bulan, saya mendengar ada suara menjerit di kamar anak kami. Oswin ketika itu sebenarnya lagi tidur siang. Begitu masuk, saya melihat kaki dan tangan kanannya menghentak-hentak.
Saya dan suami pun akhirnya
memutuskan untuk membawa Oswin ke tempat terapi yang biasa dikunjungi sang
anak. Memang setelah mengetahui Oswin mengalami keterlambatan, kami
mengikutkannya ke sejumlah terapi. Kepada sang terapis ini, saya menjelaskan
apa yang dialami Oswin dan terapis tersebut berkata bahwa itu adalah salah satu bentuk kejang. Dia pun memberikan satu nama dokter.
Tanpa menunggu lama, kami membawa Oswin ke dokter yang dimaksud. Setelah
menjalani sejumlah tindakan, hasilnya justru tidak ditemukan kelainan apapun di
dalam syaraf atau bagian tubuh lainnya. Akan tetapi, untuk memastikan, dokter tersebut mengarahkan kami untuk menemui dokter pediatric generologist untuk memastikan keadaan anak kami.
Yang bertemu dengan dokter
pediatric generologist adalah suami saya, Bonar Siahaan. Oswin saat itu dirawat
oleh kakak ipar saya, sementara ia sendiri mengobrol langsung dengan sang dokter.
Grafik EEG yang ditunjukkan oleh sang dokter memperlihatkan syaraf-syaraf
yang terdapat di dalam kepala sangat kacau. Hanya saja, dokter tidak mengetahui apa penyebabnya karena semua normal.
Dari hasil tersebut, dokter kemudian mengatakan bahwa akan terjadi degradasi kemampuan pada diri Oswin dan hal ini bisa mengarah pada sudden death, meninggal tiba-tiba. Mendengar itu, hancur hati suami saya dan juga saya.
Saya sendiri sudah pasrah jika memang sudah waktunya Oswin dipanggil oleh Tuhan. Lagi
pula, bukankah memang semua manusia nantinya akan meninggal dunia? Bagi saya
pribadi, waktu kebersamaan saya dengan Oswin selama beberapa tahun sangatlah menyenangkan.
Pada 29 Januari 2005, saya melahirkan anak kedua saya yang kami panggil
dengan nama Osbert. Seperti sang kakak, Osbert ternyata sama-sama mengalami hal serupa yakni perkembangannya terganggu.
Suatu waktu, keadaan di
dalam rumah sepi karena asisten rumah tangga kami sedang pulang kampung. Walau
tidak ada asisten rumah tangga, tetapi itu tidak menyurutkan saya untuk
membereskan rumah. Melihat aktivitas saat itu, wajah Oswin menjadi cemberut. Saya
pun kemudian mendekati dan menyatakan kepada Oswin bahwa setiap rumah memang
harus dipastikan kebersihannya. Jadi, tidak ada hubungannya dengan kondisi Oswin.
Bagi saya dan suami, Oswin
dan Osbert adalah anugerah. Walaupun ada yang mengatakan jika memang sebuah
anugerah, mengapa keadaan anaknya seperti itu. Saya sendiri sangat percaya
bahwa rencana Tuhan bagi keluarga saya adalah rencana kasih, bukannya rencana kecelakaan.
Waktu berlalu, Oswin
mengalami demam cukup tinggi yakni sekitar 41 derajat celcius. Karena ia
mengalami lebih dari satu kali, akhirnya saya dan suami memutuskan bawa ke rumah sakit terdekat.
Sang dokter yang merawat Oswin angkat tangan dan mengatakan bahwa hal itu bukanlah kekuasaannya. Akan tetapi, Oswin harus dimasukkan ke ruang gawat darurat (ICU).
Dalam keadaan yang menggigil, Oswin memandangi saya. Saya sendiri
menguatkan dan mengatakan bahwa dia harus tenang. Ia pun saya ajarkan untuk
berdoa kepada Tuhan Yesus. Doanya sederhana yakni katakan sembuhkan dirinya atau bawa dirinya bersama dengan Tuhan Yesus karena sudah tidak kuat lagi.
Di dalam situasi itu, saya teringat dengan Osbert, sang adik. Dalam perhitungan saya, satu setengah tahun setelah kejadian Oswin ini, ia pun akan mengalami hal serupa.
Baca Juga: Tidak Perlu Stres! Inilah 3 Cara yang Alkitabiah Membahagiakan Anak Meski Hidup Lagi Susah
Keesokan hari, temperatur badan Oswin turun normal yakni sekitar 36
derajat. Tiga hari ia pun sudah dapat pulang. Saya memercayai keajaiban ini terjadi karena Oswin berdoa. Saya percaya Oswin dan Osbert adalah pendoa-pendoa juga.
Karena sindrom yang mereka alami, mereka punya gangguan dalam menelan.
Dengan keadaan mereka, ada tetangga kasih alat. Sampai hari ini alat tersebut kami gunakan.
Untuk berkomunikasi, kami menggunakan kartu. Kami lihat ada perkembangannya pada Oswin dan Osbert walau tidak terlalu nampak secara ekstrim.
Kalau saya dan suami bisa kuat sampai hari ini merawat dengan penuh kasih
kedua anak kami, itu sesungguhnya karena Tuhan menyertai. Kami bukanlah
orangtua yang super. Kami punya sejuta masalah seperti orangtua-orangtua lainnya.
Menjadi kesukaan hati kami adalah anak-anak kami telah menyentuh hati
banyak orang. Dengan keberadaan mereka, mereka telah memberkati hidup orang lain.
Saya percaya tidak mungkin Tuhan menciptakan tidak sempurna. Kalau kita bilang
sempurna itu harus gini, harus gini, harus gini. Akan tetapi, kesempurnaan di mata
Tuhan adalah hati manusia yang tadinya tidak sempurna tetapi ditebus sama Tuhan dan akhirnya pulih lagi.
Saya dan suami tidak pernah
ragu sedikit pun bahwa Tuhan sayang banget sama Oswin dan Osbert. Melebihi
kasih dan sayang kami kepada mereka.