Daniel Wagania, Anak Pendeta yang Terikat dan Jadi Bandar Narkoba
Sumber: Sol

Family / 30 October 2017

Kalangan Sendiri

Daniel Wagania, Anak Pendeta yang Terikat dan Jadi Bandar Narkoba

Budhi Marpaung Official Writer
8383

Nama saya Daniel Wagania. Saya adalah anak dari seorang gembala gereja. Hidup sebagai anak pendeta sangatlah membebani saya. Harus jadi teladan, pintar, nurut sama orang tua, dan semua yang baik. Padahal, itu bukanlah jiwa saya.

Saya adalah orang yang sangat temperamental dan suka kebebasan. Di rumah, saya merasakan kebosanan. Tidak ada hal yang membuat saya bisa senang.

Sejak itulah, saya akhirnya mengenal yang namanya ganja. Saat menghisap ganja, saya dibuatnya melayang hingga seperti berada di langit tingkat tujuh.


Berjalan waktu, setelah tiga tahun lulus dari SMA dan tidak bekerja, saya yang dulunya cuma sebagai pemakai, mulai memberanikan diri untuk menjadi bandar narkoba khususnya ganja. Karena memang butuh juga, saya sekuat tenaga mencari benda tersebut hingga sampai lokasi yang jauh dari tempat tinggal saya.

Saya bisa dibilang adalah orang yang parno. Jadi, jika saya sudah bertemu dengan seorang bandar narkoba dan dia tidak datang tepat pada waktu yang sudah dijanjikan bersama, saya menjadi ketakutan.

Ganja-ganja yang saya dapatkan, saya jual ke teman saya, anak-anak sekolah, supir-supir mikrolet, tukang ojek, dan bahkan hingga tukang timer. Itu semua adalah pasien saya. Dari hasil jualan ganja, saya pun akhirnya tidak perlu meminta-minta uang kepada orangnya.  

Namun lucunya, untung yang saya dapatkan dari menjual ganja tidak bisa membuat saya membeli barang-barang bermerek (branded) atau bahkan kendaraan pribadi. Justru keuntungan yang saya dapatkan hanya bisa untuk membeli barang narkoba jenis lain, contohnya shabu-shabu.

Bapak dan mama saya tidak pernah benar-benar tahu akan aktivitas saya tersebut. Saat berbicara dengan bapak, saya menjadi anak yang tidak banyak bicara. Bagi saya, komunikasi dengan orangtua tidaklah penting.

Suatu hari, ketika saya dan teman-teman sedang menggunakan ganja dan sedang dalam kondisi melayang (nge-fly), aparat kepolisian tiba-tiba dan meringkus kami. Ketika tertangkap, tanpa instruksi, saya pun langsung sadar.

Saya dan teman-teman dibawa ke Polres setempat. Di saat pemeriksaan tepatnya di ruang kaca, saya sempat berseru kepada Tuhan di dalam hati, “Kalau elo emang Tuhan, bebaskan gue hari ini; gue pasti mau jadi pengikut elo; gue pasti mau hidup buat elo.”

Usaha saya ternyata sia-sia. Saya tetap ditahan. Ketika berada di penjara, mama pernah datang untuk menjenguk. Akan tetapi, tidak halnya dengan bapak. Dari mulut mama, akhirnya saya tahu bahwa bapak malu melihat saya di penjara. Saya pribadi tidak menyalahkanya karena saya tahu saya begini karena ulah saya sendiri.

Saya justru merasa kasihan dengan bapak saya. Saya tahu di luar, bapak saya pasti telah dicap sebagai orangtua yang gagal. Pendeta yang tidak mampu mengurus anak-anaknya di rumah dengan baik. Pikiran untuk mengakhiri hidup pun muncul, namun itu tidak terlaksana.

Baca Juga: Tidak Perlu Ragu, Ajarkan 7 Ayat Alkitab ini Agar Anak Berani Sama Setan!

Di penjara, saya hidup penuh tekanan. Awalnya saja, saya sudah disambut dengan kekerasan, penganiayaan. Setiap pagi buka mata, yang saya lihat tembok, besi. Itu sungguh buat saya tidak begitu nyaman.

Sebulan setelah di penjara, di situ ternyata saya dibesuk oleh bapak. Ketika bertemu, bapak mengucapkan maaf dan beliau memeluk saya dengan erat. Jujur hati saya hancur, tetapi di satu sisi senang karena saya sempat berpikir saya tidak akan menjadi apa-apa, tetapi bapak mau menerima saya dan mengangkat semangat saya.  

Setelah dua bulan di Polres, saya pun dipindahkan ke LP Cipinang. Godaan untuk menggunakan narkoba besar di sana sangatlah besar. Walaupun sempat menolak, tetapi akhirnya saya mengambil tawaran teman lama untuk mengonsumsi ganja lagi.

Selesai mengonsumsi ganja, saya ditegur sama Tuhan, sebanyak tiga kali. Dan saya percaya itu memang adalah Tuhan. Ia memperlihatkan kepada saya, dosa-dosa yang telah saya perbuat. Ia mengatakan bahwa saya bisa meninggal dunia kapan saja, tetapi Ia menegaskan bahwa yang perlu benar-benar tahu bahwa Ia sungguh ada di dalam kehidupannya.

Di LP Cipinang, Saya bertemu dengan seorang pria paruh baya bernama Musa. Ternyata, beliau dipercayakan oleh papa saya untuk membina rohani saya selama di LP.   Oleh Pak Musa, saya pun ditempatkan di bagian kerohanian.

Dalam sebuah perbincangan, Pak Musa mendorong saya untuk setia membaca Alkitab.

Benar ketika saya setia membaca Alkitab, godaan demi godaan itu bisa saya atasi. Biar pun di depan saya ada yang menggunakan ganja, shabu-shabu, judi, narkoba segala macam, itu tidak memengaruhi saya.

Saya pun menyadari ketika saya dekat dengan Yesus, saya menemukan ketenangan yang sesungguhnya. Hukuman selama 4 tahun 1 bulan, saya bisa jalani dengan baik karena saya melewati masa-masa itu dalam hidup takut akan Tuhan.

Masa-masa saya di dalam penjara juga membuka mata saya bahwa hidup ini bukanlah untuk diri sendiri, tetapi untuk kemuliaan Tuhan.

Kini saya menjadi pribadi yang baru. Hari ini, saya tercatat sebagai mahasiswa sekolah teologia. Untuk mencukupi segala kebutuhan hidup dan biaya sekolah, saya bekerja sebagai driver ojek online.

Puji Tuhan, saya dipercayakan untuk melayani pemulung, anak-anak jalanan, juga di beberapa penjara. Dan di gereja pun, saya fokus di pelayanan anak muda.

Bagi saya, Yesus adalah segalanya. Dia adalah teladan, sahabat, teman curhat, dan Pribadi yang tidak akan pernah meninggalkan saya.

Sumber : Daniel Wagania
Halaman :
1

Ikuti Kami