Asif
Massif, remaja laki-laki asal Pakistan harus terancam dijatuhi hukuman mati karena
tuduhan membakar lembaran kitab suci umat Muslim, Quran di desanya Jam Kayk Chattha,
dekat kota Wazirabad, provinsi Punjab tengah. Tindakan yang belum diketahui
kebenarannya ini membuat Massif harus ditahan di kantor polisi sejak 12 Agustus 2017 lalu.
Dari pernyataan
polisi setempat, Massif dijatuhi hukuman karena melanggar undang-undang (UU) pasal
295-B, yang menyatakan bahwa barang siapa yang merusak atau menodai Quran akan dikenakan
hukuman mati. “Dia ditahan sekarang,” kata Muhammad Asghar, salah satu anggota kepolisian di kantor polisi Alipur Chattha.
Sementara dari
pernyataan pihak kepolisian lainnya menceritakan kronoligi menangkapan Massif. Saat
itu, ceritanya, sebanyak 200 orang menangkapnya dan membawanya ke pos polisi. “Lalu
kami diam-diam memindahkan pelakunya ke kantor polisi di Wazirabad dimana dia diinterogasi dan mengakui perbuatannya,” kata polisi bernama Pervaiz Iqbal itu.
Sementara pada
kenyataannya, undang-undang penistaan agama di negara ini masih banyak mengundang
kritik oleh komunitas kebebasan beragama. Mereka menilai undang-undang itu hanya akan jadi ancaman bagi kaum minoritas di negara itu.
Undang-undang
itu juga bahkan membuat sejumlah pihak bertindak seenaknya. Mereka nggak segan-segan mengeroyok dan membunuh tersangka penista agama.
Karena itulah
sejumlah politisi Inggris menulis surat kepada Presiden dan Perdana Menteri Pakistan
yang berisi desakan untuk mencabut undang-undang itu. “Kami sangat percaya kalau
dengan mengatasi isu-isu menekan ini dan membatalkan peraturan ini akan menjadi
warisan yang nggak ternilai bagi warga Pakistan, seperti sebuah harapan, kesatuan,
kemakmuran dan kami sungguh-sungguh berharap Anda akan peduli dengan masalah ini,” tulis surat kiriman para politisi Inggris.
Senada dengan
itu, politisi Kroasia Marijana Petir menyerukan supaya undang-undang penistaan agama Pakistan ini dicabut dan dihapuskan.
“Pemerintah
Pakistan yang telah mengijinkan kekuatan ekstrimis radikal berkembang, secara drastis
telah memudarkan toleransi dalam masyarakat dan merampas hak kaum minoritas untuk
bisa hidup aman dan bermartabat,” tulis Petir dalam sebuah artikel yang diterbitkan di majalah Parlemen Eropa.
Dia juga menuturkan
bahwa terdapat sebanyak 1.6 persen dari jumlah total penduduk Pakistan yang masih
hidup dalam penganiayaan. Mereka juga nggak mendapat pendidikan dan penghidupan yang layak serta dipaksa tinggal di lingkungan yang terpencil.
Kasus penistaan
agama kelihatannya memang sudah menyebar dimana-mana ya. Nggak cuman di Pakistan,
tapi di negara kita sendiri pun hal ini masih jadi pergunjingan sengit. Masalahnya
pun terbilang sama, yaitu undang-undang yang nggak memihak pada kebenaran.
Buat kamu yang
merasa terbeban supaya terjadi terobosan-terobosan baru di negara-negara yang terkenal
dengan tinggi tingkat penganiayaan, yuk mulai sekarang menyuarakannya baik dengan
memberikan pandangan, masukan dalam bentuk tulisan atau saran ataupun dengan
doa. Mari sama-sama berdiri untuk ketidakadilan ini!