Apa Alasanmu Mau Menikah Dengannya? Temukan Alasan Yang Benar Sebelum Melangkah Ke Pelaminan
Sumber: Pexel.com

Single / 20 June 2017

Kalangan Sendiri

Apa Alasanmu Mau Menikah Dengannya? Temukan Alasan Yang Benar Sebelum Melangkah Ke Pelaminan

Harry Lee, M.D., Psy. D. Contributor
7941

“Marilah kepada-Ku,semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” ~ Matius 11:28 TB

Setelah cukup lama penulis tidak hadir dalam bentuk tulisan-tulisan yang biasanya ditampilkan seminggu sekali, kali ini penulis ingin mengajak setiap pembaca bersama-sama dengan penulis untuk merenungkan makna dari ayat yang penulis kutib diatas. Ayat diatas adalah pernyataan dan ajakan yang disampaikan oleh Tuhan Yesus kepada segenap orang yang merasa letih lesu dan berbeban berat karena mengikuti begitu banyaknya aturan-aturan dalam menjalankan ibadah agama. Solusi yang ditawarkan Tuhan Yesus jika kita yang letih lesu dan berbeban berat datang padanya adalah “Aku akan memberi kelegaan kepadamu”!

Dalam dua ayat selanjutnya, Tuhan Yesus memberikan alasan kenapa Ia dapat memberikan kelegaan kepada mereka yang letih lesu dan berbeban berat jika mereka mengambil tindakan untuk datang padaNya. Ini alasanNya (ayat 29-30), “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.  Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan.” Tuhan Yesus mengajak sekalian kita yang letih lesu dan berbeban berat yang datang padaNya untuk belajar dari padaNya karena Ia memiliki karakter “lemah lembut dan rendah hati”.

Belajar dari padaNya adalah pilihan dan belajar itu membutuhkan komitmen yang aktif (sebuah tindakan yang nyata). Pada saat kita sekalian yang letih lesu dan berbeban berat memenuhi panggilan Tuhan Yesus, maka kita harus bersedia menukarkan beban kita dengan pengajaranNya. Tuhan Yesus itu adalah “KASIH” (God is love) – Ia mati karena mengasihi kita sekalian yang terhilang dalam lumpur dosa. Tuhan Yesus tidak pernah mengatakan, jika engkau mengikutiKu maukah engkau membahagiakanKU? Tapi sebaliknya Ia menawarkan untuk mengambil beban kita dengan memberikan kelegaan dan ketenangan kepada jiwa kita yang letih lesu dan berban berat.

Pada saat penulis memberikan konseling “Pra-Nikah”, penulis selalu menanyakan kepada kedua belah pihak kenapa dia (pria) ingin menikahi wanita pilihannya dan kenapa dia (wanita) ingin menikahi pria pilihannya? Sampai kemarin jawaban yang penulis terima selalu sama, karena dia (calon isteri maupun suami) adalah orang yang “religious” (bukan spiritual), dia orang yang tulus, dia seorang pelayan Tuhan, dia seorang yang lemah lembut (karakter Tuhan Yesus), kami memiliki hobi yang sama, dia penuh dengan pengertian terhadap diriku, dia sabar, dia kocak, dia bukan hanya mengasihi diriku tapi juga setiap anggota keluargaku. 

Alasan-alasan yang diucapkan diatas sangat mengkhawatirkan penulis. Karena tidak satu perceraianpun timbul karena alasan-alasan diatas. Pernahkah pembaca sekalian merenungkan tujuan pernikahan yang sesungguhnya? Setiap orang yang masuk dalam pernikahan harus mampu memikirkan untuk membahagiakan pasangan hidupnya. Pertanyaan yang berbunyi “Maukah engkau membahagiakan diriku jika aku memilih untuk menikahimu”? adalah pertanyaan yang salah dan berpusat pada ke “aku”-an. Pertanyaannya seharusnya berbunyi, “Aku ingin mengambil bebanmu yang berat dan memberikan kebahagiaan kepadamu pada saat aku memilihmu untuk menjadi pasangan hidupku sampai maut memisahkan kita, bersediakah engkau meletakkan bebanmu pada pundakku”? 

Berapa banyakkah orang yang mempersiapkan “Marriage” mereka? Bukankah lebih banyak orang mempersiapkan “wedding” mereka? “Wedding” hanya berlangsung beberapa jam dan paling lama satu hari, tapi “Marriage” berlangsung sampai maut memisahkan suami dan isteri. Pada saat kedua belah pihak mengerti tujuan pernikahan, yaitu saling berbagi beban maka pada saat beban diberikan kepada pasangan hidup untuk ditanggung bersama, kelegaan akan muncul. Coba renungkan pernyataan yang disampaikan pada saat pacaran “Aku mengasihimu”, maukah engkau menjadi pendamping hidupku?

“Aku mengasihimu” tidak pernah akan memiliki makna apa-apa kecuali yang mengucapkannya mengerti bahwa “Kasih” tidak pernah ingin menyakiti, tidak pernah memikirkan kepentingan diri sendiri dan juga bukan tentang diriku tapi tentang engkau yang kukasihi. Berapa banyak pasangan yang melakukan perbuatan suami isteri (termasuk menjamah yang merupakan hak suami istri) pada saat berpacaran walaupun mereka bukan suami isteri? Bukankah Anda yang melakukan ini telah merampas apa yang bukan merupakan hak Anda? Apakah ini “Kasih” dalam pengertian yang sesungguhnya?

Jika Anda tidak jadi menikah dengan dia yang telah Anda cemari, bukankah konsep kekudusan pernikahan telah Anda cemari? Bukankah Anda telah menyakiti dia karena nafsu kedagingan Anda? Apakah ini yang Anda maksudkan sebagai “Kasih” pada saat Anda mengatakan “Aku mengasihimu”? “Kasih” tidak menyakiti, tidak mementingkan diri sendiri, tidak berdusta. “Kasih” rela berkorban, bukankah ini yang diajarkan kitab suci kepada kita sekalian? Penulis ingin mengajak setiap pembaca untuk dapat membaca bersama-sama dengan penulis, ayat berikut ini, Efesus 5:25 (TB), “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya”. Dan untuk setiap isteri berlaku Efesus 5:22-23, “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat.” Semoga bermanfaat dan boleh menjadi berkat. Tuhan memberkati.

Penulis

Rev. Dr. Harry Lee, MD., Psy.D.

Gembala Restoration Christian Church di Los Angeles - California

www.rccla.org

Sumber : Rev. Dr. Harry Lee, MD., Psy.D.
Halaman :
1

Ikuti Kami