Donald
Trump kembali membuat keputusan kontroversial dengan mengakhiri larangan gereja-gereja
dan lembaga bebas pajak ikut berpolitik. Dia mengecam kalau aturan larangan, yang
lebih dikenal dengan Amandemen Johnson, mempersulit gereja, badan
amal dan lembaga pendidikan untuk secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam kampanye politik.
"Saya
akan membatalkan Amendemen Johnson dan mengizinkan perwakilan agama berbicara
secara bebas tanpa takut hukuman. Saya akan melakukannya," kata Trump dalam
kegiatan tahunan Doa Pagi Nasional yang dihadiri politikus Amerika, pemimpin
agama, dan tamu negara, termasuk Raja Abdullah dari Yordania, Kamis, 2 Februari 2017 kemarin.
Juru bicara
Gedung Putih, Sean Spicer menegaskan tindakan itu diambil karena Trump ingin menemukan
cara untuk memastikan banyak orang tidak dikenakan hukuman karena keyakinan agama mereka.
Sementara para
kritikus mengklaim tindakan itu diambil sebagai balas jasa kepada penganut
Kristen yang mendukungnya dalam pemilihan presiden November 2016, selain karena ambisi pribadinya menjadikan rumah ibadah itu sebagai alat politik.
"Presiden
Donald Trump dan sekutunya dalam agama ingin membuat rumah ibadah di negara ini
sebagai komite aksi politik. Ini juga akan menyebabkan rumah ibadah berfokus
pada usaha untuk mendapatkan dukungan calon guna meraih bantuan keuangan dan
lain-lain. Ini bakal menjadi bencana bagi gereja dan politik di negara
ini," ucap Barry Lynn, direktur eksekutif kelompok Americans United for Separation Church and State.
Para
kritikus ini menilai bahwa pembatalan Amandemen Johnson adalah tujuan utama Kristen
konservatif. Karena mereka berpendapat bahwa isi aturan itu melanggar hak berbicara dan kebebasan beragama.
“Kita bersemangat untuk melihat bahwa Presiden Trump paham betul kalau Amandemen Johnson menyebabkan pelanggaran konstitusi yang nyata dan dia berkomitmen untuk mengembalikan hak pendeta bisa berbicara secara bebas dari mimbar tanpa takut dijatuhi hukuman dari pemerintah,” ucap Erik Stanley, penasihat senior kelompok advokat pembela hak Kristen konservatif.
Sumber : Reuters.com/Nytimes.com