Kontroversi larangan pengungsi ke Amerika Serikat (AS) terus
mengundang protes, termasuk umat Kristen yang mendukung presiden Donald Trump saat
pemilu. Sejumlah lembaga Kristen menyatakan keprihatinan mereka atas larangan keras masuknya pengungsi dari tujuh negara Muslim ke negara tersebut.
Mereka yang memprotes kebijakan ini diketahui mayoritas bekerja
atau menjadi sukarelawan di organisasi nirlaba Kristen yang fokus menangani para
pengungsi di Amerika. Larangan ini dinilai hanya akan menyakiti baik laki-laki,
perempuan dan anak-anak yang mengalami penganiayaan atas nama agama di negaranya sendiri.
“Presiden mengatakan dia khawatir tentang bahaya dari
membiarkan pengungsi masuk ke negara ini. Baik. Lalu bagaimana dengan risiko dari
membiarkan mereka? Bagaimana dengan biaya menutup pintu kita di tengah krisis kemanusiaan
di dalam hidup kita? Puluhan ribu orang akan mendeirta sia-sia. Penderitaan itu
akan membiarkan kekerasan dan ketidakstabilan di Timur Tengah, bahkan hal itu
akan menyebar,” ucap Jeremy Courtney, pemimpin dari Preemptive Love Coalition, sebuah organisasi berbasis keagamaan nonprofit yang fokus membantu para pengungsi.
Sementara Richard Stearns, pemimpin lembaga Kristen World
Vision Amerika mengatakan, para pengungsi itu bahkan merupakan orang-orang yang sangat dirugikan karena terorisme.
“Orang Kristen dipanggil Yesus untuk mengasihi sesama kita,
untuk merawat orang miskin dan menyambut orang asing. Sekitar 80% dari
pengungsi yang melarikan diri dari Suriah adalah perempuan, anak-anak dan orang
tua yang telah kehilangan segalanya. Mereka adalah korban dari teror brutal, bukan pelaku dan mereka layak menerima belas kasihan dari bangsa kita,” ucap Stearns.
Senada dengan itu, pemimpin World Relief, perpanjangan tangan
dari Persekutuan Penginjil Nasional, mengatakan kalau larangan itu tidaklah diperlukan untuk menjaga keamanan Nasional.
“Rakyat Amerika benar-benar meminta transparansi dari kebijakan
yang diambil untuk melindungi tanah air kita. Sementara itu, adalah lebih bijak
untuk selalu bekerja meningkatkan efektivitas, larangan yang panjang dan lengkap
tidak dibutuhkan untuk memenuhi komitmen kita untuk menjaga keamanan, transparansi dan belas kasihan,” terangnya.
Sementara pemimpin Pusat Penginjilan Kampus Wheaton Billy
Graham menyampaikan bahwa ketakutan tidak seharusnya menjadi alasan untuk menerapkan
larangan ini. Karena pada dasarnya, orang Kristen dipanggil untuk melayani dan
menangani krisi pengungsi global. “Kita sebagai pengikut Kristus berkomitmen
untuk merawat orang yang renta, terpinggirkan dan kaum teraniaya dan pengembara.”
Para pemimpin organisasi dan lembaga Kristen ini tampaknya
sehati dalam menentang kebijakan Trump. Tapi berbeda dengan penginjil sekaligus
pendiri lembaga Samaria Purse, Franklin Graham yang menyatakan dukungannya atas
kebijakan tersebut. Menurutnya, Amerika sebagai sebuah bangsa juga perlu memikirkan
tentang keamanan bangsanya, dan dalam hal ini larangan pengungsi dari tujuh negara itu dipikir menjadi jalan untuk menghindari ancaman terorisme di dalam negeri.
“Yang berkaitan dengan Amerika Serikat, saya percaya bahwa
semua orang yang berasal dari negara lain harus benar-benar diperiksa. Kita harus
memastikan filosofi mereka terkait kebebasan dan kemerdekaan sejalan dengan kita.
Saya mendukung zona aman di negara-negara dimana para pengungsi ini bisa melarikan
diri dan menemukan perlindungan. Ini jauh lebih aman daripada mereka mencoba untuk menyeberangi laut, mempertaruhkan hidup mereka. Mari membantu mereka,” ucap Graham.
Tentu saja perbedaan pandangan ini semakin meningkatkan ketegangan antar masyarakat Amerika, khususnya antara sesama gereja dan lembaga Kristen. Karena itu, diperlukan adanya sikap saling memahami dan mendorong semua orang untuk berdoa dan meminta petunjuk dari Tuhan supaya kebijakan Donald Trump ini tidak menjadi batu sandungan bagi umat Kristen, yang dikenal sebagai orang-orang yang hidup dengan belas kasihan terhadap sesama.
Sumber : Cnn.com/jawaban.com