Kehidupan
Daniel Fendy sejak SMA begitu liar. Mulai dari mengonsumsi narkoba hingga
terlibat dalam berbagai perkelahian dilakukannya. Sebab, cita-citanya hanya
satu yakni ingin hidup seperti vokalis band terkenal luar negeri yang dipujanya waktu itu yakni mati (meninggal dunia, pen) di usia 27 tahun.
Hal
yang selalu Fendy pikirkan adalah bagaimana selama masa hidupnya ia bisa
senang-senang dan mengerjakan apa yang dia mau. Itu juga yang pada akhirnya membuat dia tidak mengenal rasa takut kepada siapapun.
“Perkelahian
saya itu bagian dari kehidupan saya. Saya punya ambisi, saya punya kemarahan,
saya punya dendam, sudah jadi satu dalam kehidupan saya. Jadi, untuk berkelahi
itu sesuatu yang saya keluarkan dari apa yang ada di dalam diri saya,” ujar Fendy.
Rumah
adalah tempat yang tidak menyenangkan bagi seorang Fendy. Di sini, ia mengalami
hal-hal yang tidak mengenakkan dirinya, bukan hanya dari saudaranya, tetapi juga dari kedua orangtua khususnya ayah.
“Rasanya
biasa kalau dipukul, tapi cuma kalau kalau dah dewasa, masih dipukul, masih
dimaki, masih dengan kalimat yang kasar, rasanya sakit hati dan kalau dilihat orang itu malu,” ungkap Fendy.
Di rumah,
Daniel adalah seorang anak yang tidak dapat berbuat apa-apa. Ia bahkan harus
bersikap manis di depan siapapun yang datang. Sampai suatu hari. Dalam sebuah
pertemuan rutin keluarga besar setiap tahunnya, ia mengetahui sesuatu yang
penting yang tidak pernah disampaikan kepadanya bertahun-tahun lamanya dari salah seorang sanak keluarga.
Sesuatu
yang penting itu adalah sebuah fakta bahwa dirinya ketika kecil sempat mau dititipkan di sebuah panti asuhan.
“Waktu
itu perasaan, ya kenapa harus orang lain, kenapa harus saudara, kenapa tidak
orang tua? Apa yang harus ditutupi? Jadi saya mencari tahu sendiri. Saya pergi ke panti asuhan tersebut,” imbuh Fendy.
Di panti
asuhan itu, Fendy melihat ada beberapa anak yang tidak punya orangtua, yang
orangtuanya meninggal dunia. Namun, ada beberapa anak yang tidak tahu asal
usulnya. Ia berpikiran anak yang tidak ada asal-usulnya, bisa jadi anak yang
dibuang, anak yang ditinggalkan keluarganya. Dalam pikiran remaja Fendy, ia adalah anak yang dibuang.
Suatu
kali, Fendy terlibat percekcokkan dengan sang adik. Mengetahui adanya
ribut-ribut, sang ayah justru menarik Fendy. Dengan segala kemarahan yang ada,
ia membenturkan badan Fendy ke mobil. Bukan itu saya, dengan tali yang ada di
sekitar, ia memukuli dan kembali membenturkan badan Fendy ke tembok. Tindakan
sang ayah telah membuat bajunya menjadi robek.
“Saya
sakit hati. Dalam kondisi seperti itu saya sakit hati, tapi saya gak berani melawan. Saya hanya diam,” kenang Fendy.
Akhirnya
Fendy mengambil langkah seribu. Ia kabur dari rumah dan pergi ke Solo, ke rumah
salah seorang kerabat keluarga dari sang ayah. Di situ, ia diterima dengan tangan yang sangat terbuka.
Perlakuan
sang paman kepada Fendy berbeda jauh dengan apa yang ditunjukkan oleh sang
ayah. Di Solo, ia bebas bisa melakukan apa saja, tanpa harus
disembunyi-sembunyikan. Konsumsi shabu-shabu, hubungan seks dengan
perempuan-perempuan di kamar, mabuk, semua bisa diperbuatnya tanpa harus merasa takut dimarahi sang paman.
Pada
suatu malam, ketika Fendy sedang kumpul mabuk-mabukkan dengan teman-temannya,
ada beberapa orang yang mendatangi mereka dan menanyakan salah seorang teman
mereka. karena mereka tidak tahu keberadaan teman mereka tersebut, mereka
mengatakan tidak tahu. Orang-orang tersebut kemudian pergi meninggalkan mereka.
Tidak lama setelah itu, adik dari teman Fendy datang dan mengatakan kalau
orang-orang yang mencari kakaknya tersebut adalah orang yang berhutang kepada kakaknya.
Belum
selesai mereka berbincang-bincang, beberapa orang yang mendatangi mereka
sebelumnya datang kembali. Perkelahian tak terelakkan Fendy berhasil membuat salah seorangnya terluka parah di bagian kepala.
Takut
ditangkap pihak berwajib, Fendy langsung pulang ke rumah orangtua angkat,
mengemas pakaian dan langsung angkat kaki, kembali ke rumah orangtua kandungnya.
Kehidupan
di rumah orangtua kandung pun ia jalani lagi. Suatu ketika, ia mengalami pusing
di bagian kepala yang begitu hebat. Kepalanya seperti diremas-remas dan di
dalam kepala seperti ada aliran dari bawah ke atas. Setelah itu, lidah langsung
masuk, Fendy pun tidak sadarkan diri. Panik, pihak keluarga kemudian memanggil ambulans.
Ketika
berada di rumah sakit, ada seseorang pengunjung yang mendoakan dirinya yang
sedang terbaring. Bersama dengan kedua orangtua, orang tersebut mendoakan kesembuhan atas Fendy.
Tiga
hari kemudian, Fendy benar siuman. Dokter pun memberi tahu kepada keluarga
bahwa apa yang terjadi kepada salah seorang anggota keluarganya adalah sebuah
keajaiban. Dari pemeriksaan lanjutan rumah sakit, Fendy diketahui memiliki 7 komplikasi pada tubuhnya.
“ada
liver, ginjal, kolesterol, asam urat, penyumbatan pembuluh hati, penyumbatan
otak, ada meningitis, semua stadium 3 dan 4, ada kencing manis juga. Di situ dokter berkata ini bisa diselesaikan satu persatu, tidak bisa langsung,” kata Fendy.
Berjalan
waktu, setiap hari, Fendy dites darah. Dalam tes darah terakhir, dokter berkata
kepadanya bahwa telah terjadi mujizat. Semua penyakit yang ia alami telah sembuh.
Meski
mengalami sendiri kesembuhan supra alami, Fendy masih menyimpan sebuah
kekecawaan terhadap ayahnya. Ia sulit untuk mengucapkan minta maaf kepada sang ayah.
“..tetapi
tanpa sadar mulut saya berkata, ‘saya minta maaf sama papi’,” ujar Fendy. Akhirnya, waktu itu untuk pertama kali, Fendy dipeluk oleh ayahnya.
Peristiwa dipeluk sang ayah mendorong Fendy untuk belajar tentang kasih Allah.
“Kasih
Yesus itu mengampuni, Dia yang memberikan kehangatan; Dia yang memberikan sukacita; Dia bisa memampukan saya untuk mengampuni,” ungkap Fendy.
Kalau mimpi yang dulu, meninggal dunia di usia 27 tahun, kini Fendy telah mengubahnya. “Saya mau sampai Tuhan memanggil saya, saya mau mengerjakan apa yang Tuhan mau di dalam hidup saya,” pungkas Fendy.
Sumber : Daniel Fendy