Sungguh
sangat disayangkan, teror bom gereja Oikumene Samarinda harus mengorbankan anak-anak
sekolah minggu yang saat itu tengah asyik bermain bersama di halaman gereja. Dan
yang paling menyedihkan adalah kondisi korban yang begitu memprihatinkan dan menyebabkan
satu dari empat korban meninggal dunia karena kondisi luka bakar yang dialami cukup parah.
Setiap
orangtua pasti akan merasakan kesedihan yang mendalam saat diperhadapkan dalam
posisi orangtua para korban bom. Di samping merasa begitu sedih dan terpukul dengan
kondisi fisik anak-anak mereka, orangtua korban juga tentunya akan diperhadapkan
pada kondisi mental anak yang terganggu pasca-pengeboman (Post-traumatic stress
disorder (PTSD)). Untuk itu diperlukan pendampingan dan dukungan orangtua sepenuhnya kepada anak korban teror bom.
Kejadian semacam
bom merupakan salah satu penyebab ketakutan dan rasa ngeri yang intens pada
anak. Adapun beberapa jenis PTSD yang bisa dialami korban terdiri dari tiga jenis yaitu:
Hyperarousal : Korban dengan jenis trauma ini akan
mengalami perubahan karakter seperti mudah marah, mudah terkejut dan kerap was-was. Mereka juga mengalami kualitas tidur yang buruk dan sulit berkonsentrasi.
Re-experiencing or Intrusion (bayangan peristiwa yang terus muncul) : Peristiwa traumatik
bisa muncul tanpa sengaja baik hanya selintas, lewat mimpi buruk atau kilas
balik. Seseorang dengan trauma ini bisa merasa bahwa dirinya seolah-olah tengah berada dalam peristiwa itu kembali.
Terasing dan mati rasa : Trauma jenis
ini menyebabkan korban seperti seseorang yang tidak memiliki perasaan. Mereka kehilangan
minat dengan kehidupan normal. Mereka juga menjadi terasing dan bertindak aneh dibanding orang pada umumnya.
Tidak ada
cara lain untuk membantu korban teror bom selain memberi mereka beberapa terapi, diantaranya:
Terapi kognitif
Terapi ini perlu
dilakukan dengan hati-hati dan secara bertahap dengan bantuan terapis untuk membantu
korban mengendalikan pikiran, perasaan dan kondisi saat peristiwa terjadi.
Terapi kognitif memungkinkan korban untuk mengganti kenangan menakutkan dalam pikiran menjadi lebih realitis dan tak lagi menakutkan.
Terapi keluarga
Efek dari trauma
pasca-pengeboman seringkali berimbas kepada keluarga. Untuk itu, diperlukan dukungan
dari seluruh keluarga kepada korban. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan waktu
dan ruang kepada korban dan meyakinkan korban dengan perkataan-perkataan yang baik
dan menyemangati. Sebisa mungkin keluarga juga perlu menghindari korban dari sesuatu yang mengingatkan mereka dengan peristiwa yang membuat mereka trauma.
Konsumsi obat
Antidepresan
seperti fluoxetine atau sertraline dapat menjadi obat yang ampuh menurunkan gejala
depresi atau kecemasan. Namun, perlu diingat obat ini tidak mampu menghilangkan memori akan kenangan mengerikan di masa lalunya.
Layanan doa dan sharing
Ini adalah
salah satu cara paling ampuh untuk mengurangi trauma bagi para korban peristiwa
mematikan atau peristiwa lainnya. Komunitas sel atau komunitas pelayanan gereja
bisa menjadi wadah bagi para korban untuk membagikan masalah mereka. Komunitas ini
juga menjadi wajah dimana korban bisa mendengar kisah-kisah menginspirasi dari
sejumlah orang yang berhasil sembuh dari trauma serupa. Biasanya mereka juga didorong
untuk saling mendoakan satu sama lain.
Bagi para
orangtua, jika Anda mendapati anak Anda menghadapi trauma seperti di atas, segera
berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter untuk memastikan jenis terapi apa yang
paling tepat untuk anak.