Nanang Sudadi: Dengan Tanganku, Kubuat Ibu Temanku tak Bernyawa
Sumber: Gang Senggol

Family / 31 October 2016

Kalangan Sendiri

Nanang Sudadi: Dengan Tanganku, Kubuat Ibu Temanku tak Bernyawa

Budhi Marpaung Official Writer
8339
Nama saya Nanang Sudadi. Saya adalah anak tunggal. Kehidupan perekonomian keluarga kami tidaklah begitu bagus. Apalagi sejak ayah saya mengalami stroke ringan dan ibu juga mengalami cedera karena terpeleset. Semua tanggungan di dalam keluarga ada di saya.

Untuk membeli obat-obat yang dibutuhkan oleh ayah-ibu, saya harus menjual barang-barang yang ada di rumah kami. Saya memiliki seorang teman. Dia dan keluarganya baik kepada saya. Ketika saya mau menjual radio keluarga kami, teman saya ini mengantarkan saya ke pasar yang mau membeli radio keluarga.

Uang pun di dapat, saya akhirnya membeli obat-obat yang dibutuhkan orang tua saya. Sesampainya di rumah, saya bertemu dengan Buk Le. Beliau pun menasihati agar ayah saya dirujuk ke dokter.

Melihat semua keadaan ini, hati saya menjerit kepada Tuhan. Saya tidak menerima apa yang saya sedang alami.

Terdesak akan kebutuhan mendapatkan uang untuk pengobatan orang tua, akhirnya saya menggunakan kekuatan dan cara sendiri.

Pada hari sudah saya rencanakan, saya menyelinap masuk ke rumah teman yang membantu saya menjual radio. Dengan hati-hati saya melangkah ke dalam dan mulai mencari benda-benda berharga di rumah tersebut. Namun, tidak disangka-sangka rumah yang saya anggap sedang kosong ternyata masih ada penghuninya.

Aksi pencurian saya diketahui oleh ibu teman saya tersebut. Panik, saya pun mencekik leher ibu teman saya tersebut sambil mendorongnya ke tembok dan kemudian membentur-benturkan kepalanya sampai meninggal dunia.

Sesudah itu, saya pun langsung mengambil barang-barang berharga yang ada di rumah tersebut dan menjualnya. Uang akhirnya saya dapat dan saya gunakan untuk mengobati ayah.

Tidak perlu waktu lama, hari itu juga saya pergi melarikan diri ke Bali. Dengan alasan ada pekerjaan di Negeri Dewata maka saya pun meninggalkan Solo.

Selama di Bali, saya terus mengikuti perkembangan kasus kematian ibu teman saya lewat surat kabar. Walau jauh dari kota asal, tetapi perasaan saya selalu diliputi kekuatiran. Saya kuatir akan ditangkap oleh polisi.

Satu kali, pacar saya waktu itu menelepon saya dan menyatakan bahwa orang tuanya tidak menyetujui hubungan dia dengan saya. Karena mempertahankan hubungan kami, ia pun diusir keluar dari rumah.

Tanpa saya sadari, keputusan saya untuk menjemputnya ke Solo akan membawa saya ke penjara. Setiba saya di Yogya, aparat berwajib yang sudah bersiap-siap sebelumnya akhirnya berhasil membengkuk saya.

Dalam proses penyelidikan di kantor kepolisian akhirnya saya memutuskan untuk mengakui seluruh perbuatan saya. Saya sudah siap untuk menanggung semua akibat dari yang saya lakukan.  

Seminggu setelah dipenjara, saya dikunjungi oleh ibu saya. Hati saya hancur karena saya tidak bisa membahagiakan kedua orang tua saya. Akan tetapi, ibu memotivasi saya bahwa saya bisa berubah menjadi orang yang lebih baik. Akhir pertemuan itu sungguh meninggalkan keharuan mendalam dalam diri saya.

Tanpa saya duga, keluarga dari teman yang ibunya saya bunuh menjenguk saya juga di lembaga pemasyarakatan. Perjumpaan itu tidak seperti yang saya kira. Saya berpikir saya akan dimarahi, akan mendapat perlakuan kasar darinya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Ia mengatakan kepada saya bahwa keluarga dari teman saya tersebut sudah memaafkan saya.

“Itu hal yang sama sekali tidak saya pikirkan, tetapi itu merupakan titik balik dimana saya harus berbuat sesuatu,” ujar Nanang.

Ketika berada di Lembaga Pemasyarakatan, saya ditemui oleh seorang pria dan pria ini menyampaikan sebuah pesan yang begitu menyentuh hati.

“Di situ semakin diyakinkan pengampunan dari Tuhan sungguh bisa mengubah hidup saya. Sesuatu yang saya tidak bisa lakukan adalah memercayai Tuhan sepenuhnya. Di dalam penjara, banyak sekali kejadian-kejadian yang membuat saya benar-benar pasrah sama Tuhan. Setiap ibadah saya selalu ikut. Saya mencoba mengerti apa maksud Tuhan dalam hidup saya,” ungkap Nanang.

Dipotong remisi, saya menjalani hukuman 7 tahun 6 bulan dari hukuman 15 tahun penjara. Bersama dengan ibu, kami menjalani bisnis laundry kecil-kecilan bersama. Walau pun uangnya tidak terlalu besar, tetapi kami bersyukur dengan semua itu. (Beberapa tahun sebelum saya keluar, ayah sudah meninggal dunia).

“Semakin hari Tuhan menambah-nambahkan kasih setianya kepada saya. Tuhan izinkan saya untuk bisa menikah dengan orang yang Tuhan telah kirimkan bagi saya,” ungkap Nanang.

Atas semua yang ia rasakan dan nikmati sekarang, Nanang berterima kasih kepada Tuhan.

“Bersyukur sekali kepada Tuhan karena Tuhan memberi kesempatan, sekali lagi untuk saya memperbaiki kehidupan saya. Meskipun saya pernah mencoret-coret gambar besar Tuhan, tetapi Tuhan tidak pernah putus asa sama saya,” pungkas Nanang.

Sumber : Nanang Sudadi
Halaman :
1

Ikuti Kami