<!--[if gte mso 9]><xml>
Badan anak-anak PBB UNICEF mengeluarkan laporan bahwa terdapat lebih dari 13 juta anak-anak di Timur Tengah dan Afrika Utara yang tak bisa bersekolah karena perang yang terus berkecamuk. Laporan UNICEF berjudul “Education Under Fire” mengungkap dampak kekerasan pada anak-anak di sembilan tempat, termasuk Suriah, Irak, Yaman, dan Libya.
Di tempat-tempat itu, anak-anak tumbuh di luar sistem
pendidikan. "Bukan kebetulan bahwa apa yang kita lihat di televisi kita,
gambar-gambar tragis orang yang menyeberang dengan kapal ke Yunani dan Italia,”
kata direktur regional UNICEF Peter Salama, dalam laporan yang dipublikasikan,
Kamis (3/9).
Para imigran sering mengatakan pendidikan anak-anak mereka adalah prioritas
utama, sedang banyak negara di kawasan ini tidak mampu memberikan hak dasar
manusia. Laporan ini juga melihat Libanon, Yordania dan Turki—negara-negara
tetangga Suriah yang menampung sejumlah besar pengungsi, serta Sudan dan
wilayah Palestina.
Serangan terhadap sekolah adalah salah satu alasan utama mengapa banyak
anak-anak tidak bisa pergi ke sekolah sementara banyak bangunan saat ini
dijadikan untuk penampungan pengungsi atau digunakan oleh kombatan sebagai
markas mereka. Di Suriah, Irak, Yaman dan Libya saja, hampir 9.000 sekolah
tidak dapat digunakan, menurut laporan itu.
Ribuan guru di seluruh wilayah telah meninggalkan pos mereka dalam ketakutan,
yang akhirnya membuat para orangtua berhenti menyuruh anak mereka ke sekolah. Sementara
itu, negara tuan rumah yang menampung pengungsi, juga kesusahan untuk
menyekolahkan anak-anak itu karena sistem pendidikan mereka tidak dibuat untuk
menampung tambahan anak dalam jumlah besar, kata Salama.
"Semua orang pada dasarnya berusaha dalam hal menangani krisis besar ini,
yang tidak mengejutkan mengingat bahwa itu adalah gerakan populasi terbesar
sejak Perang Dunia II," kata dia.
Salama juga mengatakan anak-anak yang berhenti sekolah bisa berakhir bekerja
secara ilegal, sering menjadi pencari nafkah untuk keluarga mereka. Mereka rentan
terhadap eksploitasi dan dapat lebih mudah direkrut ke dalam kelompok-kelompok
bersenjata.
Penelitian UNICEF menunjukkan peningkatan anak-anak yang menjadi pejuang dari
usia yang lebih muda, sementara siswa dan guru tewas, diculik dan ditahan. "Kita
berada di ambang kehilangan seluruh generasi anak-anak di Timur Tengah dan
Afrika Utara. Kita harus melakukan sesuatu, jika tidak maka akan ada kerusakan
permanen dan jangka panjang yang kita bersama timpakan kepada anak-anak dari daerah ini."