Kecil Cita-cita Jadi Preman, Besar Jadi Preman Yang Haus Darah
Sumber: jawaban.com

Family / 29 August 2014

Kalangan Sendiri

Kecil Cita-cita Jadi Preman, Besar Jadi Preman Yang Haus Darah

Lois Official Writer
235401

Cita-cita Ciming sejak kecil memang menjadi preman, dan ketika hal itu terwujud ia menjadi seorang preman yang haus darah. Dibesarkan sebagai anak yang kurang kasih sayang dari kedua orangtuanya, Ciming kecil menyadari benar bahwa jika ia ingin tetap hidup harus bertahan dalam pahitnya kehidupan ini.

“Mama saya penjudi berat, waktunya habis di judi saja,” demikian tutur Ciming. Kasih sayang yang diharapkan Ciming, namun ia menerima sesuatu yang lain. “Dengan kekerasan perhatiannya tuh, bukan dengan kelemah lembutan.”

Hukuman kejam sering Ciming terima dari sang ayah, diikat, dipukul dan disundut rokok yang menyala bahkan ia dibiarkan dikerubutin oleh semut sambil diikat menjadi pengalaman masa kecilnya yang membuat dia trauma.

“Saya sangat ngga kuat waktu orangtua saya menyiksa saya,” ungkap Ciming. Tidak berhenti disana, ia bahkan hampir dibunuh oleh sang Ayah. “Saya dimasukin ke karung, lalu dicemplungin ke air. Tapi tiba-tiba tetangga saya datang menolong. Karena hal itu saya dendam pada orangtua saya, nanti kalau saya sudah besar saya akan bunuh mereka.”

Ciming akhirnya bergaul dengan anak-anak jalanan, disanalah ia belajar melakukan kejahatan.

“Disana saya belajar kejahatan, mencuri, dan menodong.”

Bahkan diusianya yang baru 13 tahun, Ciming telah berani menusuk lawannya. Akibatnya, ia harus melarikan diri dari kejaran kelompok preman lain agar tidak terbunuh.

“Kalau ketemu, saya pasti mati dibunuh,” ucap Ciming. “Saya lari ke Lampung. Selama beberapa hari itu, yang saya makan cuma pisang busuk. Menderita saya di Lampung.”

Tidak tahan tinggal di jalanan, akhirnya Ciming mencari pamannya yang juga tinggal di Lampung. Ia tinggal bersama pamannya itu hingga ia mendapatkan pekerjaan. Namun bisa memiliki penghasilan sendiri malam membuat hidup Ciming makin parah.

“Ada duit itu tujuannya cuma satu, perempuan. Karena selama ini ngga ada yang memperhatikan saya, tidak pernah diperhatikan sama orangtua saya, sama mama saya, jadi carinya dari perempuan,” tutur Ciming sambil tersipu malu.

Namun pribadi Ciming tidak pernah berubah, ia adalah orang keras dan nekat. Sebagai seorang preman, tidak ada satupun yang ia takuti.

“Kalau saya orangnya nekad, kalau lingkungan saya diganggu orang, saya akan datangi preman yang penguasa itu. Mereka takluk dengan keberanian saya itu. Yang paling parah waktu teman saya ditusuk pahanya, saya tusuk lagi orang itu.”

Ciming benar-benar haus darah, hal itu bukan hanya kiasan, “Kalau saya sudah cabut pisau, orang itu harus saya tusuk. Darahnya saya jilat, kalau saya sudah jilat, saya baru merasa puas.”

Semua keberingasan Ciming itu karena sebuah keris yang ia miliki, “Keris itu kecil, kalau ada orang niat jahat, keris itu ngasih tanda. Kalau sudah keris itu nempel saya saya, dipukul orang sekampung pun saya ngga kerasa apa-apa. Tapi kalau saya mukul orang, sekali pukul orang itu langsung terkapar. Saya juga heran, saya pernah di keroyok, tapi mereka terkapar dan kabur semua.”

Sebagai seorang preman, ia tidak selalu beruntung. Suatu kali ia tertangkap oleh aparat dan harus mendekam di penjara. Namun dibalik jeruji penjara itu, kelakuannya bertambah aneh.

“Mungkin karena pengaruh obat ya, saya juga ngga sadar. Badan saya itu saya gigit dan saya hisap darahnya. Waktu saya sudah hisap darah itu, rasanya seperti sangat rileks sekali.”

Ciming akhirnya berhasil keluar dari penjara berkat bantuan seorang saudara, hari dimana ia melangkah menuju kebebasannya ia membuat sebuah komitmen. “Saya ingin hidup benar, saya ngga mau lagi berbuat seperti dulu lagi.”

Namun keinginan sekedar keinginan, ia tetap saja kembali kepada profesinya sebagai seorang preman. Hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang wanita dan menikahinya.

“Waktu saya ngga punya duit, istri saya ini mau sama saya. Saya ngga mau melakukan kekerasan sama dia. Tapi keinginan untuk ngobat, berantem dan judi itu masih ada. Sampai suatu hari istri saya itu ngejar-ngejar saya pakai sapu. Saya kabur aja, ngapain ngeladenin perempuan yang ngejar-ngejar saya pakai sapu.”

Sekalipun rumah tangganya tidak selalu harmonis, namun Ciming mencintai istrinya dan tidak melakukan kekerasan kepada istrinya. Namun kepada anaknya, tidak demikian. Ia masih ingat bagaimana masa kecilnya bagaimana orangtuanya keras kepadanya, herannya ia juga melakukan hal yang sama kepada anaknya.

“Saya sudah gelap mata, saya pukul. Saya suruh dia tidur diluar, ngga boleh masuk rumah. Tengah-tengah malam, saya ngga bisa nafas, dan Tuhan berbicara, ‘Anakmu, darah dagingmu.’ Saya bangun, saya minta maaf sama anak saya.”

Setelah peristiwa itu, Ciming mengalami sesuatu yang mengguncang jiwanya. Adiknya yang mengandung 7 bulan dan melahirkan. Sayangnya, adiknya tidak bisa terselamatkan.

“Tiba-tiba saya melihat seperti angin beliung berwarna emas di tempat adik saya itu. Lalu bagitu angin itu naik, adik saya sudah tidak ada.”

Kehilangan adik perempuannya dan mengalami sebuah pengalaman aneh seperti itu, membuat Ciming berpikir tentang kehidupannya. “Saya mulai berpikir nanti kalau saya meninggal gimana nih? Saya takut, karena badan saya ini kotor. ‘Kalau saya mati mau kemana ya?’ Adik saya ini rajin ibadah, dia cinta Tuhan. Ujan-ujan dia datang beribadah, saya pernah bilang, ‘Gitu ya melayani Tuhan, ujan-ujan harus pergi. Ngga ada hari besok!’”

Ingatan akan kesungguhan adiknya dan caranya meninggal yang memberikan kesan mendalam di hati Ciming membuatnya memutuskan untuk merubah hidupnya.

“Hal itu membuat saya tobat, membuat saya harus mempercayai Yesus sebagai Juru Selamat saya. Karena saya melihat adik saya..”

Ciming pun bersungguh menunjukkan perubahan hidupnya, ia sadar bahwa di luar Yesus dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Ia membutuhkan Yesus untuk bisa hidup dalam kebenaran Firman Tuhan. Ia pun meminta maaf kepada kedua orangtuanya dan juga memperbaiki hubungannya dengan istri dan anak-anaknya. Preman yang bengis dan haus darah itu, kini berubah menjadi pribadi yang lembut dan penuh kasih.

“Buat saya Tuhan Yesus itu adalah seorang pribadi yang saya banggakan,” ungkap Ciming. “Karena di dunia ini belum ada pribadi yang seperti Dia. Dia mengangkat saya menjadi kepala sampai saat ini.”

Sumber Kesaksian :

Ciming

Sumber : V110330115601
Halaman :
1

Ikuti Kami