Penjual Koran Beralih Menjadi Perampok Toko
Sumber: jawaban.com

Family / 16 March 2014

Kalangan Sendiri

Penjual Koran Beralih Menjadi Perampok Toko

Lois Official Writer
7859

Karena hidup miskin di kota Medan, Jeremia Situmorang dan mamanya, pindah ke Jakarta tahun 1980. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Jeremia berjualan koran. Dalam suatu kesempatan, Jeremia disuruh menunggu oleh seorang preman yang membeli korannya. Dia melihat preman tersebut beserta rekan-rekannya masuk ke dalam bis dan turun beberapa menit kemudian. Setelah itu, si preman ini akan membuka dompet dan membayar korannya. Namun, isi dompet itu kemudian diambil preman dan dompetnya dibuang begitu saja.

Setelah diperhatikan beberapa kali, ternyata mereka mencopet. Jeremia yang melihat aksi mereka kemudian berpikir, ‘Wah, kalau begini caranya ya gampang’. Akhirnya dia pun nekat.

“Pertama kali saya belajar mencopet, saya naik bis, saya lihat korban saya. Hati saya saat itu sebenarnya ada ketakutan. Takut ketahuan, takut digebukin massa. Tapi dorongan untuk itu kuat. Pertama, saya copet pulpen orang di kantong-kantong tuh. Laku saya jual banyak,” ceritanya.

Uang hasil mencopet, dia ceritakan kepada teman-temannya. Mereka pun kemudian membeli minuman keras dari hasil copet tersebut. “Karena begitu gampangnya, enaknya dapat uang, saya lakukan lagi. Kelakuan saya makin lama makin menyimpang,” ujarnya lagi.

Dalam pikirannya, nama Jeremia seperti nama perempuan, sehingga diapun mengganti namanya dengan Robert. “Hampir tiap hari saya copet. Kadang saya copet di bis, kadang copet orang-orang yang tidur di terminal, habis pulang dari luar kota.”

Tapi setelah bertahun-tahun mencopet dia merasa kurang, karena yang ada di dalam dompet orang kurang banyak. Maka sekitar 15 tahun setelah dia di Jakarta, secara terang-terangan Jeremia alias Robert bersama kedua rekannya merampok semua penumpang di dalam bis. “Semua penumpang bis kota itu kami rampok, cuma dengan modal satu celurit.”

Meski diancam, namun ada satu penumpang yang berteriak “RAMPOK”. Maka mereka pun berlarian. Kedua temannya masuk ke kali, sedangkan Jeremia masuk ke perumahan. Massa yang mengejar mereka semakin banyak. Dia lari masuk ke pos hansip. Di sana dia pikir aman. Namun ternyata dia dihakimi massa. Dia pun kemudian dibawa ke tahanan sel.

“Orangtua saya datang, yaitu mama saya. Di situ mama saya pingsan-pingsan. Saya nggak tahu apa yang ada dalam pikiran mama saya waktu itu, tapi yang jelas saya sangat prihatin lihat mama saya, sangat kasihan. Selama tiga bulan, saya di dalam sel. Namun karena tidak ada barang bukti (karena sudah dibuang saat dia lari), maka saya bebas.”

Setelah bebas, tidak ada penyesalan dalam diri Jeremia. Dia merasa sudah semakin dikenal di terminal sehingga dia pun mulai mengambil ‘jatah’. “Saya datangi beberapa kios, saya ambil jatah itu. Semua yang ga ngasih, pajangannya saya rusakin. Tiap hari saya berkelimpahan, tiap hari kami mabuk.” Dia pun membentuk kelompok Antoger yaitu Anak Tongkrongan Grogol. “Kami berjudi, peras orang lain dan saya sangat menikmati kehidupan seperti itu.”

Ternyata hal itu dikarenakan di masa kecilnya, dimana dia sering dibully dan dikucilkan. Jeremia menganggap jika saja dia punya banyak uang, maka dia pasti punya banyak teman. Dan hal itu terbukti ketika dia jadi preman.

“Saya suka traktir mereka. Bukan saja sekedar makan-makan tapi kita juga ke diskotik bersenang-senang. Enak kalau ada uang. Besoknya dicari lagi. Kepuasan saya kalau saya banyak uang.”

Suatu hari mereka merampok sebuah toko dimana semua hasil penjualannya hari itu diambil mereka semua. “Orangnya ngasih aja,” ujar Jeremia. Namun ternyata, si pemilik toko yang mengenali wajah Jeremia kemudian datang bersama polisi dan dia pun ditangkap.

Ketika hendak dilakukan rekonstruksi, polisi menyuruh rekan setahanannya membeli rokok. Namun, bukannya beli rokok, si tahanan kabur. Polisi kemudian menembaknya. Hal itu membuat Jeremia sangat ketakutan. “Di situlah saya berdoa, minta kepada Tuhan.” Dia meminta keselamatan dan berjanji akan bertobat dalam nama Yesus yang pernah dia dengarkan di sekolah minggu.

“Hari ke delapan (di penjara), kira-kira jam delapan malam,” Jeremia dipanggil ke ruangan komandan bersama rekannya. Di situ dia dikatakan boleh keluar. “Waduh, terbayang lagi memori waktu saya mau rekonstruksi. Saya pikir ini saya bener boleh keluar atau nggak.” Saking ketakutannya, Jeremia mengajak temannya untuk berjalan zig-zag ketika keluar ruangan.

Sesampainya di rumah, Jeremia masih tak percaya bahwa dia sudah pulang. Kelakuannya begitu aneh dan tak percaya. “Waduh, Tuhan, saya sungguh bersyukur. Kok bisa ya? Saya ga habis pikir.” Dia pun mengucap syukur pada Tuhan.

“Saya ingat pertolongan Tuhan, saya ingat janji saya untuk jadi orang baik-baik. Akhirnya saya putuskan untuk tidak lagi nongkrong bersama teman-teman saya. Saya bisa betah di rumah sama mama saya, sama kakak saya. Saya banyak belajar tentang firman Tuhan.”

Dia juga mendapatkan pekerjaan yang baik melalui bantuan keluarganya. “Mulai bekerja mengandalkan keringat dengan benar. Walaupun apa yang saya dapatkan itu jauh lebih kecil dari apa yang saya dapatkan dulu, tapi saya menikmati hasilnya itu enak, bahagia.”

“Saya bersyukur pada Tuhan. Harusnya saya mati dikeroyok orang, saya ga mati. Terus ada petugas yang pengen tembak saya tapi ga jadi.  Yang tadinya hidup saya di jalanan, dalam kesia-siaan, Tuhan pindahkan bawa saya ke suatu tempat yang begitu indah. Dimana saya saya ada di persekutuan-persekutuan. Saya makin dekatkan diri sama Dia. Ada banyak hal yang Tuhan buat yang sangat baik buat saya. Saya sangat berterima kasih sama Tuhan Yesus.”

 

Sumber Kesaksian :

Jeremia Situmorang

Sumber : V140310130914
Halaman :
1

Ikuti Kami