Kisah Nyata Jusmin yang Jatuh dari Ketinggian 10 Meter

Family / 26 February 2013

Kalangan Sendiri

Kisah Nyata Jusmin yang Jatuh dari Ketinggian 10 Meter

Yenny Kartika Official Writer
6051

Tanggal 16 Mei 2000 adalah hari yang patut kami rayakan sebagai mahasiswa/i, karena ujian semester di kampus baru saja berakhir. Kelegaan meliputi hati kami, karena salah satu beban hidup telah terangkat.

Perkenalkan nama saya Dewi. Waktu itu aku sedang mengobrol santai dengan teman, ketika tiba-tiba terdengar  suara mengagetkan yang sangat keras. Karena penasaran, kami langsung menuju sumber timbulnya suara.

Aku sangat terkejut melihat seorang pria yang jatuh kesakitan, dengan tulang tumit yang menonjol keluar. Pria itu adalah Liau Jusmin, calon suamiku. Kontan saja, aku menjerit histeris.

Aku dan seorang teman mengiringi keberangkatan Jusmin ke rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa Jusmin harus segera dioperasi, karena pendarahannya sangat banyak, bukan hanya di tubuhnya tetapi juga di otaknya. Sayangnya, pengesahan surat ijin operasi membutuhkan tanda tangan anggota keluarga Jusmin, sedangkan dia tidak memiliki siapa-siapa di kota ini. Ibunya ada di luar kota.

Saat aku—sebagai pacarnya—menawarkan diri untuk menandatangan, suster menolak.

Jusmin jatuh di STT IMAN, tempat kami berkuliah. Saat itu dia sedang mengambil jemuran di tingkat atas asrama yang tingginya sekitar 10 meter dari tanah. Jusmin jatuh dengan posisi lutut menyentuh tanah dan terjerembab. Sehabis itu, dahinya tersungkur ke ubin.

Di rumah sakit, aku merasa panik dan tidak tahu harus berbuat apa, karena jika tidak ditangani secepatnya, Jusmin bisa meninggal dunia.

Tiba-tiba sesosok pria tak dikenal berjalan ke arah tempat dudukku dan berkata, “Anda teman dekat Jusmin? Saya dosennya Jusmin, dan saya juga bekerja di sini.” Lalu dia berpaling kepada suster, “Biar saya yang menjamin, Suster.” Puji Tuhan, aku bisa sedikit bernafas lega sekarang.

Kamar operasi disibukkan dengan para dokter dan perawat. Waktu berlalu. Tak terasa sudah 24 jam aku menunggu. Begitu dokter mengeluarkan batang hidungnya, aku langsung menyambar.

“Kecelakaan ini melibatkan syaraf otaknya. Jadi, apapun bisa terjadi,” ujar dokter.

“Maksudnya, Dok?” tanyaku kebingungan.

“Jusmin bisa saja mengalami hilang ingatan, bahakn cacat mental,” sambungnya.

Badanku lemas.

Entah kenapa, ada seorang anak duduk di kursi roda yang sedang lewat di situ. Tanpa kutanya, dokter berujar, “Lihat, anak ini memiliki kasus yang sama. Sekitar satu tahun dia bisa sembuh.”

Meskipun Jusmin sudah menempuh operasi, hati kecilku masih tak tenang. Aku selalu teringat akan perkataan dokter yang terakhir itu. Ternyata ada resiko yang berat pasca-operasi.

Lalu dokter memberi kesempatan agar aku masuk ke ruang operasi. Dengan suara tersendat dan perlahan, kulihat Jusmin berkata, “Mama .. mama…”

Astaga! Kenapa cara Jusmin berbicara seperti anak kecil begini?!

Dokter pun menjelaskan bahwa tingkat kesadarannya menurun.

Melihat tingkah lakunya yang menjadi berbeda, aku sedih. Dia melakukan hal aneh, ditambah lagi rasa sakit yang ia derita. Kadang dia memukul dan memaki orang yang sedang menjaga dia. Kadang dia menangis histeris seperti seorang anak kecil. Hal yang paling menyedihkan adalah melihat orang yang kita sayangi menderita luar biasa tetapi kita tidak bisa melakukan apapun. Rasanya bagaikan ingin berlari dan memeluk dia, tetapi tidak bisa kesampaian. Jika aku punya kesempatan untuk bisa berbagi penderitaan, aku ingin mengalami apa yang dia alami, karena aku sungguh tidak tahan melihatnya. Berapa lama Jusmin harus menderita seperti ini? Dan bagaimana masa depannya nanti? Dunia seolah runtuh. Bahkan Tuhan pun tak bisa mendengar seruanku minta tolong.

-Tiga minggu pasca operasi-

Suatu ketika Jusmin mengerang kesakitan, tetapi dia tidak lagi bertingkah seperti anak kecil. Rasa sakit yang Jusmin derita adalah seperti ada logam besi yang menggorok kepalanya. Lututnya terasa ngilu.

“Apa yang terjadi?” tanya Jusmin.

“Apa kamu tidak ingat?” kataku.

“Yang kuingat terakhir kali… aku sedang mengambil jemuran.”

“Syukurlah kamu sadar.”

Jusmin merasa dirinya bagai orang cacat. Kepalanya gundul, harus memakai kacamata. Banyak orang menganggap dirinya makhluk aneh. Jusmin ditinggalkan ibunya, yang harus pulang ke Kalimantan. Orang yang dikasihinya tidak bisa berada di sisinya. Jusmin berprinsip, lebih baik dia membantu orang daripada dirinya yang dibantu. “Saya merasa tidak berdaya. Lalu untuk apa saya hidup kalau begini keadaannya?” ungkap Jusmin dengan sedih.

Jusmin tidak lagi memikirkan hubungannya denganku. Dia rasa dirinya tidak layak lagi menjadi suamiku.

Niat Jusmin adalah pulang kampung, karena dengan demikian dia bisa dirawat oleh keluarganya. Baginya, inilah waktunya untuk mengubur semua harapan, cita-cita, dan impian yang ingin ia kejar. Tak mungkin ia menjadi manusia normal kembali.

“Tapi, daripada menderita terus seperti ini, bukankah lebih baik bunuh diri?” ungkap Jusmin. Namun Jusmin menyadari bahwa bunuh diri itu adalah dosa. Jusmin akhirnya mengetahui bahwa ia tidak bisa lari ke mana-mana. Hanya kepada Tuhan-lah dia harus berlari, baru dia akan mendapat kekuatan.

Di tengah kekalutan, Jusmin mencoba meraih Alkitab dan membacanya. Ia menemukan ayat di Yakobus pasal satu, yang berbunyi, “Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan.” (ayat 2-3)

Perlahan-lahan, Jusmin melihat karya Tuhan yang luar biasa. Tuhan seakan menunjukkan kilas balik: mulai dari saat Jusmin jatuh, ada teman yang menolong membawa ke rumah sakit, lalu ada dosen yang dipakai Tuhan untuk menjamin operasinya, dan juga dokter yang disediakan untuk merawatnya. Jusmin menyadari bahwa keberadaan tiap-tiap orang tersebut adalah cara Tuhan menolong Jusmin. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, saat Jusmin butuh bantuan, teman-temannya selalu siap menolong. Bahwa Tuhan masih menyediakan pertolongan, menjadi dorongan bagi Jusmin untuk bangkit.

Aku melihat ada secercah harapan dalam diri Jusmin sekarang. Hati yang gembira adalah obat yang manjur. Doaku terjawab. Proses kesembuhan yang menurut medis membutuhkan waktu setahun, nyatanya tidak berlaku bagi Jusmin. Dalam kurun waktu empat bulan Jusmin telah melepas tongkatnya. Dia berjalan dan beraktivitas seperti biasa.

“Dalam pandangan manusia, kita menemukan banyak prediksi negatif. Tetapi dalam Tuhan justru Ia mengubahkan itu menjadi sesuatu yang indah,” kata Jusmin.

“Saya mengalami hal yang berat tetapi saya tahu bahwa setiap persoalan yang kita hadapi tidak melebihi kekuatan kita. Apalagi, Tuhan Yesus Kristus memberikan bukan hanya kekuatan, tetapi juga jaminan keselamatan dan kemenangan bersama dengan Dia. Kita tidak boleh menyerah terhadap apapun juga.”

Petaka diubah menjadi sukacita di dalam tangan Tuhan. Cara Ia bekerja sungguh dahsyat dan ajaib. Jusmin hanya bisa bersyukur akan semua yang telah ia hadapi.

 

 

Sumber Kesaksian:

Liau Jusmin dan Dewi (istri Jusmin)

Sumber : V130226091351
Halaman :
1

Ikuti Kami