Pilkada DKI Digugat Ke MK, Jokowi-Ahok Harusnya Menang Satu Putaran

Nasional / 13 July 2012

Kalangan Sendiri

Pilkada DKI Digugat Ke MK, Jokowi-Ahok Harusnya Menang Satu Putaran

Lestari99 Official Writer
5558

Rencana pengadaan Pilkada DKI Putaran kedua mendapat perlawanan dari segelintir masyarakat. Pengacara dari Surabaya, M. Sholeh, akan melayangkan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang penetapan pemenang Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta. Gugatan akan dilayangkan hari ini Jumat (13/7) ke Mahkamah Konstitusi. Gugatannya sendiri akan mengatasnamakan seorang warga DKI Jakarta yang bernama Abdul Hafidz.

Gugatan ini dilayangkan karena pada pelaksanaan Pilkada DKI mengacu pada dua undang-undang sekaligus, yaitu UU Nomor 29 Tahun 2007 serta UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pilkada. Terlebih lagi UU Nomor 29 Tahun 2007 hanya mengatur satu pasal, yaitu pilkada dua putaran harus digelar jika tidak ada calon yang mendapatkan suara 50 persen plus satu. Sedangkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pilkada disebutkan bahwa penetapan dua putaran hanya dilakukan jika tidak ada calon yang memperoleh 30 persen plus satu.

“Pilkada DKI Jakarta harus mengikuti UU Nomor 12/2008. Sekarang ini, Pilkada Jakarta juga menggunakan UU Nomor 29/2007. UU inilah yang menjadi acuan putaran kedua karena tidak mencapai suara 50 persen. UU ini aneh karena hanya mengatur penetapan pemenang. Sementara tahapan lain diserahkan ke UU 12/2008. Padahal apa bedanya Jakarta dengan daerah lain. Ini sungguh aneh,” ungkap Sholeh sebagaimana dilansir berbagai Media.

“Pilkada DKI Jakarta kan simpang siur, ada yang bilang satu putaran, ada yang dua putaran. Seharusnya Jokowi menang satu putaran. Pilkada DKI Jakarta harus mengikuti UU 12/2008,” tegasnya.

Dalam gugatan tersebut, MK didesak untuk segera memutuskan sehingga Pilkada dua putaran tidak terjadi. Jika gugatan ini dikabulkan, dengan sendirinya pasangan Jokowi-Ahok akan langsung ditetapkan menjadi pemenang pilkada DKI Jakarta.

Sholeh membantah jika gugatan yang dilayangkannya merupakan pesanan pihak tertentu untuk pemenangan Jokowi-Ahok. Sholeh mengaku gugatan tersebut murni agar Pilkada dilangsungkan secara demokratis dan efisiensi anggaran.

“Saya bukan orang Jakarta dan saya bukan pendukung Jokowi. Saya diskusi dengan beberapa teman dan sepakat untuk membuka mata kita semua akan kesalahan pelaksanaan Pilkada DKI,” ungkapnya.

Sementara di tempat terpisah Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Sosialisasi, Pemungutan dan Penghitungan Suara Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta (KPU DKI), Sumarno, mengatakan Penyelenggaraan Pilkada di DKI Jakarta berbeda dari Pilkada lainnya karena DKI Jakarta memiliki satu Undang-Undang tambahan mengenai penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan juga karena DKI Jakarta adalah daerah khusus ibukota negara.

“Di Jakarta digunakan UU Nomor 32 Tahun 2004, UU Nomor 12 Tahun 2008 ditambah UU Nomor 29 tahun 2007. Untuk pengaturan penyelenggaraan Pilkada sendiri KPU DKI mengacu pada pasal 11 UU Nomor 29/2007. Kalau untuk tata laksana yang lain kami tetap mengacu pada dua undang-undang lainnya,” ungkap Sumarno panjang lebar.

“Kalau di provinsi lain penentuan hasil pemungutan suara itu bertahap, pertama pasangan yang mendapat suara 50 persen lebih, kalau tidak ada diturunkan jadi 30 persen. Kalau di DKI tidak bisa, kalau tidak lebih dari 50 persen plus satu, ya diadakan putaran kedua,” tambahnya.

Pemilihan Kepala Daerah sejatinya menggunakan UU yang berlaku sama di seluruh daerah. Terlebih lagi UU yang menjadi acuan tidak sejalan dengan UU yang menjadi pegangan dalam pelaksanaan Pilkada di seluruh daerah di Indonesia. Bila pemilihan kepala daerah dapat dilakukan dengan lebih mudah, kenapa harus dipersulit dengan berbagai macam birokrasi yang ujung-ujungnya berdampak pada pemakaian anggaran daerah yang tidak efisien dengan menggadaikan suara rakyat atas nama demokrasi.

 

Baca Juga:

Sumber : Berbagai Sumber - LEP
Halaman :
1

Ikuti Kami