Karena Menjadi Preman, Yohanes Harus Kehilangan Satu Matanya

Family / 7 March 2012

Kalangan Sendiri

Karena Menjadi Preman, Yohanes Harus Kehilangan Satu Matanya

Budhi Marpaung Official Writer
9155

Berbekal ilmu yang ia miliki, Yohanes berangkat ke Jakarta untuk meraih impiannya menjadi tentara. Ia pun menguji kehebatannya, saat mengikuti ujian tes masuk. “Dalam psikotest ilmu pengetahuan, saya tidak bisa, tetapi saya percaya dengan roh leluhur,” ujarnya membuka kesaksian hidupnya.

“Waktu mau ujian itu kan ya saya beli ayam. Saya berdoa, setelah itu saya panggil roh leluhur,”

Ia berharap dengan melakukan ritual-ritual itu, ia bisa melewati ujian yang ia hadapi. Ternyata… apa yang diharapkannya itu terjadi. Pada saat pengumuman hasil ujian, ia dinyatakan lolos masuk ke dalam sekolah ketentaraan.

Cita-cita menjadi seorang prajurit tinggal selangkah lagi bagi Yohanes. Namun, perkenalannya dengan seorang pria membuat segalanya berubah. “Jadi, bung wahab ini memesan minuman, trus terakhir memesan kue ulang tahun karena dia mengatakan bahwa dia ulang tahun pada hari itu”

“Karena saya tidak pernah minum minuman alkohol dan saat itu saya sedang minum cukup banyak, saya pun ketiduran. Ternyata di saat saya seperti itu, mereka susun strategi. Satu per satu mereka meninggalkan saya.”

Yohanes terbangun ketika seorang pelayan menepuk badannya. Ia sangat kaget ketika sang pelayan meminta bayaran kepada dirinya. Ia pun menolak karena merasa minuman dan makanan yang ia makan malam tadi bukanlah pesanannya.

Perkelahian tak terelakkan. Singkat kisah ia pun kalah dan dibawa ke kepolisian. Di sana, ia diintegrosi oleh petugas. Begitu mengetahui bahwa ia adalah seorang siswa tamtama, polisi itu pun marah karena merasa belum benar-benar menjadi tentara saja ia sudah banyak tingkah.

Tindakannya tersebut akhirnya didengar oleh institusi dimana ia menuntut pendidikan. Yohanes pun dicoret dari sekolah tentara. Mengalami nasib yang buruk, ia pun menyimpan dendam kepada pria yang telah menjebaknya malam tersebut.

Waktu berlalu, Yohanes Samone sudah menikah dan bekerja sebagai seorang satpam. “Hidup ini sudah kacau. Walaupun kerja, tetapi tetap aja ada yang kurang itu. Tidak ada damai sejahtera, tidak ada ketenangan,”

Ketidakpuasannya itu menghantarkannya pada seorang teman yang mampu memberikan apa yang ia inginkan. “Ia kasih tahu, ‘Yohanes, kumpulkan teman-temanmu, kita rebut satu lokasi yang akan mendatangkan uang’”

Yohanes berhasil mengumpulkan teman-temannya. Demi uang, perebutan kekuasaan pun dimulai. “Kami turun-turun akhirnya ada juga korban di pihak kita, di pihak kelompok lawan juga ada. Perang berlangsung selama 6 bulan. Kami akhirnya yang menguasai wilayah tersebut. Kami pun menjadi penguasa di sana”

Ilmu kekebalan yang ia miliki kini menjadi andalannya. Dengan jimat-jimat tersebut, Yohanes berhasil memperluas kekuasaannya sehingga lawan-lawannya menjadi terusik. Sebuah strategi untuk mencelakainya pun disusun.

Pada sebuah pertarungan yang tidak seimbang, salah satu bola mata Yohanes dicongkel oleh musuhnya. Ia pun akhirnya dilarikan ke rumah sakit.

Meski suaminya terluka berat, Yohana Faot, sang istri tercinta ternyata menyambut kejadian tersebut dengan senang. Ia bersuka karena harapan untuk melihat suaminya bertobat akan datang.

Alih-alih mengharapkan yang baik, justru kelakuan Yohanes semakin menjadi-jadi. Mabuk, main perempuan menjadi aktivitas sehari-hari yang dilakukannya selepas keluar dari rumah sakit.

Suatu hari, seorang teman lama membawa sebuah berita kepadanya. “Rupanya orang ini mengatakan bahwa wajah saya terngiang-ngiang dalam pikirannya. Ia pun mengajak saya ke sebuah tempat, yakni gereja. Oleh karena ia adalah teman saya, saya pun menerima tawarannya. Sesampainya disana, saya melihat orang bertepuk tangan. Sampai hari itu pun, saya belum berpikir untuk bertobat”

Hingga akhirnya di sebuah pesta ulang tahun seorang teman, ia mendapat nasihat dari kenalan. Ia berkata agar Yohanes harus bertobat. Hal itu ternyata terus terngiang-ngiang dalam pikirannya dan membuat ia gelisah.

Kegelisahan itulah yang akhirnya mendorongnya untuk mendalami kepercayaannya. Sebuah kebenaran pun membukakan matanya. “Tuhan sudah membayar dengan harga yang mahal ya di atas kayu salib. Darah-Nya tertumpah bagi saya. saya percaya dosa saya diampuni dan dihapus. Oleh sebab itu, saya tidak boleh lagi kembali ke dunia lama,”

Sebuah tindakan berani pun ia lakukan terhadap pria yang melukainya. “Saya mengampuni orang yang telah mencongkel mata saya. Tidak ada lagi dendam saya kepada ia. Puji Tuhan, saya belajar terus untuk mengampuni orang.”

Yohanes juga didoakan agar terlepas dari ikatan-ikatan kegelapan yang membelenggunya. “Saya kasih itu batu. Mereka pun mendoakan pemutusan supaya jangan itu tidak mengikat saya..... Saya rasakan bahwa semua kini telah menjadi plong. Meski terasa susah, tetapi tidak ada apa-apa lagi yang menyusahkan saya,”

Kini hidupnya telah diperbaharui dan Yohanes mengabdikan hidupnya untuk Tuhan. “Setelah pulang dari pendalaman Kitab Suci, papa tidak pernah keluar lagi dengan teman-teman yang belum bertobat. Ia hanya tinggal di rumah dan membaca kitab suci,” pungkas istrinya.

“Ia hidup di dalam lingkungan bermasyarakat bagus sekali. Untuk adaptasi sama lingkungan, sama tetangga, sama siapa saja,” aku Bapak Melki, pria yang menjadi saksi perubahan kehidupan Yohanes.

“Puji Tuhan, sekarang saya merasa bahagia. Saya merasa hidup ini untuk Tuhan. Ke mana pun saya melangkah ya butuh Tuhan. Menyimpang ke kiri ke kanan, tidak lagi. Hanya Yesus yang ada dalam hidup saya,” tutup pria yang memiliki nama lengkap Yohanes Samone.

Sumber Kesaksian:
Yohanes Samone
Sumber : V111207152111
Halaman :
1

Ikuti Kami