Penggerak Bangsa yang Terlupa : Nasionalisme Minoritas Kristen

Internasional / 6 October 2010

Kalangan Sendiri

Penggerak Bangsa yang Terlupa : Nasionalisme Minoritas Kristen

Lois Official Writer
4026

Konflik antar agama dan golongan yang terjadi belakangan ini sudah disadari banyak pihak sebagai sebuah ancaman bagi pluralisme bangsa. Wacana dominan dan non dominan ataupun mayoritas dan minoritas semakin memperuncing terjadinya konflik, seolah-olah Indonesia yang mempunyai masyarakat majemuk ini tidak ada persatuan sama sekali.

Padahal, sejarah Indonesia mencatat, ada sejumlah pejuang kemerdekaan yang memiliki peran serta yang begitu besar dan mereka berasal dari kalangan minoritas. Namun, mungkin karena keminoritasannya, pamor pejuang ini justru redup dalam sejarah dan tidak dikenang lagi.

Sebut saja IJ Kasimo, seorang Katolik Jawa, ahli pertanian yang aktif di partai politik konvensional dan duduk di Volksraad; Toedoeng Soetan Soenoeng Moelia (1896-1966), seorang Protestan Batak yang aktif dalam partai politik konvensional dan duduk di Volksraad; GSSJ Ratu Langie, seorang Protestan Minahasa yang juga duduk di Volksraad; Amir Sjarifoeddin (1907-1948), pemimpin muda kharismatik dalam gerakan nasionalis tahun 1930-an, menjadi Perdana Menteri RI dua kali dalam rentang 1947-1948; dan Albertus Soegijapranata (1896-1963), pastor Serikat Jesuit dari Jawa Tengah, uskup pribumi pertama di Hindia Belanda pada 1940 yang aktif dalam aktivitas politik pada periode 1940-an.

Dawam Rahardjo, seorang cendikiawan muslim, dalam bedah buku Lima Penggerak Bangsa yang Terlupa : Nasionalisme Minoritas Kristen di Gedung Djoeang 45, Jakarta mengatakan, “Mereka kini terlupakan perannya yang besar oleh bangsa ini. Padahal, mereka tokoh nasionalis penggerak bangsa yang sangat penting kontribusinya,” begitu katanya.

Sebagai contoh sejarah yang diambil Dawam adalah seperti yang dialami Amir Sjarifudin yang dieksekusi mati tanpa proses peradilan karena dianggap terlibat dalam pemberontakan Madiun. “Sjarifudin ini adalah satu-satunya Perdana Menteri Kristen. Ini menunjukkan ketokohan dan kapasitasnya,” ujar Dawam. Mantan cendikiawan Muhammadiyah tersebut berujar bahwa ketokohan Amir tidak dikenal publik karena dia berasal dari minoritas. Namun, bukan sebab kekristenannya yang membuat jasa Amir dilupakan, melainkan lebih karena citranya yang terlibat dalam pemberontakan komunis.

“Maka dari itu, ketokohan seseorang jangan dilihat dia dari mana, agama apa, tapi lihat apa yang sudah diberikan orang-orang ini kepada bangsa Indonesia,” tandas Dawam. Untuk itu, dari latar belakang apapun kita, kita harusnya bersatu padu, tanpa melihat perbedaan. Yang penting adalah bumi kita berpijak harusnya menjadi tempat yang damai bagi semua orang.

Sumber : kompas/lh3
Halaman :
1

Ikuti Kami