Dampak dari Peraturan Gereja Tentang Pernikahan di Mesir II

Internasional / 16 September 2010

Kalangan Sendiri

Dampak dari Peraturan Gereja Tentang Pernikahan di Mesir II

Lois Official Writer
4850

Sebuah kasus yang baru-baru ini terjadi, seorang istri pendeta, Kamellia Zakhir, menghilang pada bulan Juli dan dikabarkan beralih ke agama Islam agar bisa berpisah dengan suaminya. Setelah polisi menemukannya dan mengembalikannya ke rumah, para demonstran mengajukan protes oleh umat Muslim yang menuduh umat Kristen menahannya dari kehendak bebasnya untuk memeluk agama Islam.

“Saya takut situasi ini akan menjadi lebih buruk lagi dan kami menyaksikan ada banyak orang yang berpindah agama menjadi Islam sejak hukum yang baru ini,” kata Naguib Gibrail, seorang pengacara Kristen yang terkenal dan mantan jaksa.

Di Mesir, tidak ada catatan sipil, jadi pernikahan itu sendiri disahkan oleh pemerintah melalui pendeta dan untuk sebuah perceraian, pasangan menyatakannya kepada gereja. Jika gereja menolak, maka mereka bisa naik banding ke pengadilan sipil, yang dilatarbelakangi oleh agama tapi tidak selalu. Hukum baru akan menutup kemungkinan seperti ini. Tidak akan boleh ada perceraian kecuali karena kekerasan, perpindahan agama maupun perpindahan denominasi.

Gereja memperbolehkan pembatalan, tapi hanya bila pernikahan itu tidak terjadi. Dalam kebanyakan kasus, gereja juga melarang pernikahan antara orang yang pernah bercerai. Dalam wawancara baru-baru ini, Uskup Bola, pihak berwenang untuk gereja menandatangani ijin perceraian atau menikah kembali. Gibrail mengatakan bahwa kasus perceraian umat Kristen sebanyak 4000 kasus pada tahun 1990 naik menjadi 12.000 kasus per tahun.

Pembunuhan atas Irini Ibrahim merupakan pemicu bagi aktivis Coptic. Mereka menciptakan akun Facebook yang dinamakan ‘Dukung Para Coptic untuk Hak Bercerai’ dan menyebutkan protes bahwa kasus seperti Ibrahim bisa terjadi lagi jika tidak ada alternatif pengadilan sipil. “Hukum baru ini adalah hukum terror” demikian ungkap Amira Gamal, salah satu aktivis kepada Associated Press.

Bulan Mei, ratusan jemaat Coptic mengajukan protes selama tiga hari di gedung utama katedral melawan pengadilan sipil yang baru-baru ini memberikan ijin dua orang pria Coptic agar menikah kembali, dalam melawan aturan gereja. Pemerintah kemudian membuat hukum baru untuk meredakan gereja.

Para pendemo itu melambaikan sebuah gambar hati berwarna merah yang membungkus salib, “Kami semua yang berada di belakang Paus menolak pengadilan yang melanggar kepercayaan / agama kami.”

Sementara itu, ibu Ibrahim yang bernama Mariam Labib (50) mungkin hanya satu-satunya orang yang menyesal telah menolak perceraian anaknya. “Saya menyesal,” katanya, menangis. “Ini membunuh saya. Saya tidak mendengarkan dia.”

Bagi kita umat Kristiani, bagaimana kita harus bersikap? Apakah kita membiarkan perceraian itu terjadi? Atau bagaimana? Untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Anda perlu berpedoman pada Alkitab yang merupakan sumber hidup kita.

Sumber : washingtontimes/lh3
Halaman :
1

Ikuti Kami