Dendam Seorang Wanita yang Terluka Karena Cinta

Family / 9 June 2010

Kalangan Sendiri

Dendam Seorang Wanita yang Terluka Karena Cinta

Budhi Marpaung Official Writer
21502

Cinta pada pandangan pertama dengan cepat meluluhkan hati Titin. Di usia 18 tahun, pernikahannya dengan pria yang 20 tahun lebih tua dari dirinya terjadi begitu saja. “Di mata saya waktu baru mengenal gitu ya, dia itu baik, menyayangi saya gitu dan terutama saya mencari sosok figur seorang bapak tadi. Saya pikir dia melindungi saya, dia menyayangi saya, dia mengasihi saya.”

“Sebenarnya dari kedua orangtua saya, saya tidak disetujuin sama dia karena beda umur kami kan cukup jauh jadi tidak boleh. Namun, saya memaksakan diri, saya menikah di Jakarta”

Wajah hanyalah topeng yang menipu, dibaliknya tersimpan sebuah kebusukan.

“Pernah suatu kali adik saya datang. Dia mau nganterin ceritanya. Saya mau ikut, dia bilang gak boleh. Kenapa sih gak boleh? Dia bilang yah kalau perempuan di rumah aja, ngapain sih ikut-ikut suami. Saya tanya lagi, ‘kenapa sih gak boleh?’ dia gak ngomong lagi, langsung dipukul. Disitu saya nangis. Dia masih tetap jalan dengan adik saya, nganterin”

Mungkin itu hanya sebuah kekhilafan yang termaafkan bagi Titin sampai sepotong gambar merobek hatinya. “Udahlah kita udah baikkan, kita punya anakkan. Anak saya berumur bukan seminggu, tapi tiga hari ya, dia selingkuh dengan kakak sepupu saya”

“Kan fotonya tersimpan di dalam lemari, ‘Kenapa foto ini ada disini?’ udah ditanya ‘Kenapa foto ini ada disini terus?’ Dia bilang tidak ada apa-apa. Abis dari situ, dia pergi ke Jakarta. Gak tahu apakah dia mempunyai hubungan dengan kakak sepupu saya atau tidak”

Setelah berbulan-bulan pergi tanpa kabar, suaminya datang untuk memohon rujuk kembali dengannya. “Saya bilang, ya udah kalau bisa diperbaiki hayo kita perbaiki daripada anak sampai mempunyai ayah tiri lagi. Saya bilang, ya udah gapapa lah kita balik lagi namanya dia kan itu suami sah saya. Terus saya pulang. Namun, kejadian yang lama dimana dia memukul saya kembali ia ulangi”

Kali ini bukan hanya kekerasan fisik, tetapi juga penghinaan. “Terus dia itu mau beli bakso kalau gak salah ya. Saya bilang, mau ikut dong. Sama anaknya kan Eka namanya, ‘Sama Eka mau ikut dong,’ Terus dia bilang gak usah. Tapi, saya bilang sama anak saya, ‘Ikut aja Ka, ngapain di rumah, orang bapak aja pergi’...Di depan orangtua saya, di depan adik-adik saya, saya dipukul, langsung diludahin, ‘Kamu jadi istri senangnya ngelawan sama suami?’

Harga diri Titin terinjak-injak, darah dagingnya terancam lepas dari dirinya. “Dia bilang katanya, ‘Saya gak akan bakal cerain sampai anak ini berada di tangan saya?’ Saya bilang, ‘Gak papa saya gak butuh surat cerai. Saya butuh anak saya. Anak saya, satu-satunya nyawa saya’ Saya bilang. Udah mulai dari situ, dia gak pernah datang lagi. Sejak anak saya titipin sampai saya akhirnya pergi ke Jakarta, ia tidak pernah pulang dan memberi saya nafkah baik lahir maupun batin”.

Detik itu, cinta Titin kandas. Semua pintu maaf tertutup rapat. Kebencian membakar hati Titin. “Laki-laki itu semuanya sama. Bikin sakit hati perempuan. Menyakiti perempuan”

Luka yang dulu dia pendam di masa kecil, kembali terbuka.

“Ternyata orang tua saya itu sama-sama egois. Papa saya terutama selingkuh. Sedikit demi sedikit saya suka kecewa sama bapak, ‘Kenapa sih bapak seperti itu? Kok bapak gak sadar kalau dia punya anak seorang perempuan?’ Jadi mulai dari situ saya mulai kecewa”

Merantau sendiri ke Jakarta terpaksa ia lakukan walau hanya sebagai pembantu rumah tangga. Sampai seorang teman menawarkan sebuah pekerjaan lain.

“Ngapain kamu kerja menjadi pembantu? Gaji kamu berapa? Bagaimana kamu mengurus anak kamu?”

“Tempat panti itu kayak apa sih?” Saya bilang.

“Hayo, coba aja. Jadi saya ikut”

Tempat itu tak lain adalah panti pijat plus-plus. Tawaran menggiurkan dari para pria hidung belang ada di depan mata.

“Di bulan-bulan pertama sampai kedua, saya murni, saya cuma mijit doang. Jadi, kalaupun saya dapat uang, uang itu masih halal. Hampir tiap hari, dipaksa, dipaksa, saya gak pernah mau. Namun, berjalannya waktu, ya karena salah pergaulan tadi, akhirnya saya ikut juga masa teman-teman saya”

Meski hina, Titin bertahan demi suatu alasan. “Saya sebenarnya menolak, saya gak mau menjadi sampah masyarakat, saya gak mau. Tetapi, demi anak saya, saya mau ngelakuin apa aja. Apa yang dibilang orang tentang saya, saya gak pernah dengerin.”

Lambat laun perasaan jijik itu terlupakan dan uang menjadi penawarnya. “Yang ada dalam pikiran saya, Cuma uang, uang, uang dan uang. Saya mau tunjukkin sama mantan suami saya bahwa tanpa dia, saya bisa menghidupi anak saya”

Seorang pria kaya berhasil ia pikat. “Saya dijadiin istri muda..Kebetulan dari istri yang tua, dia tidak punya anak. Habis itu hubungan kami diketahui istri tua.”

Untuk kedua kalinya, Titin harus merasakan sakit dicampakkan oleh pria. Dendamnya pun semakin bergejolak. “Bukan hanya laki-laki yang bisa menyakiti perempuan, bahkan perempuan pun bisa lebih melakukannya. Saya juga bisa balas dendam sama semua laki-laki”

Pria ini adalah Robert, tamu langganan panti. Entah kenapa, ada sesuatu yang berbeda darinya. “Untuk pria yang satu ini, dia baik, dia memperhatikan saya lebih dan dia tidak memandang saya hina seperti orang-orang memandang saya. mulai dari situ, kami tinggal serumah”

“Waktu itu hanya mencari kepuasan aja. Ya, saya berpikir daripada saya mengeluarkan uang. Jadi, saya tinggal bersamanya sebatas karena kebutuhan nafsu saja,” ujar Robert Hutabarat.

Hubungan Titin dan Robert semakin intim dan dalam. Rahasia dan sisi gelap mereka mulai terkuak. “Ternyata, waktu itu dia gak benar-benar berhenti. Waktu itu, dia mengenal seorang pria yang berduit, mampu menopang hidup dia. Waktu itu saya juga berpikir, ya gapapa ia berhubungan dengan pria tersebut, yang penting uang tersebut dibawa ke rumah. Itulah pikiran jahat saya waktu. Walaupun saya tahu dia menjalin hubungan dengan pria lain, saya biarkan saja. Jadi, ibarat kasarnya, saya menjual Titin”

Satu tahun mereka hidup satu atap tanpa status sampai akhirnya atas desakan keluarga, mereka menikah. Babak baru pun akan segera dimulai. “Memang waktu itu kita menikah bukan atas dasar cinta, tetapi nafsu. Jadi, untuk memikirkan Titin saja, tidak terlintas dalam pikiran saya,” kata pria berkumis tipis tersebut.

Sikap dingin Robert semakin membuat Titin dipenuhi rasa curiga.

”Iya, kalau dia pulang terlambat, saya itu pikirannya jelek. Jadi, saya pikir dia mampir ke panti lagi”

“Lewat setengah jam dari pulang kerja udah dia ribut. ‘Kamu darimana, begini begitu’, Padahal saya sendiri tidak mau diatur seperti itu,” kata Robert.  

Titin mulai naik pitam, amarahnya siap untuk meledak.

”Ya, udah saya tinggal tidur. Nah dia, kalau udah begitu, dia lompat. Itu saya ditekan dari atas, ditidurin, pokoknya saya tidak bisa bergerak. Udah diam aja begitu kayak batu,” kenang Robert.

“Biasanya saya tidak hanya pukul saya, saya peluk dia dari belakang sampai sekencang-kencangnya. Saya gak mau kalah lagi, saya gak mau disakitin lagi. jadi sebelum dia sakitin saya, saya duluin”

Di bawah alam sadarnya, dendam Titin terhadap seorang pria dilampiaskan kepada suaminya. Berkali-kali Robert menjadi bulan-bulanan amarah Titin.

"Kalau dibilang saya ini otoriter banget. Maunya apa yang saya bilang dia harus turutin. Jadi, keputusan itu seolah-olah ada di tangan saya. Saya yang harus mengatur semuanya. Saya tidak pernah merasa itu ada kesalahan saya dan harus memperbaiki itu. Yang ada dalam pikiran saya adalah ya dia memang salah”

“Kalau udah begitu, saya keluar, jalan entah kemana. Kalau udah capek jalan, ya saya berhenti dan pulang lagi. Waktu itu saya berpikir, bagaimana berhentikan ini keluarga,” ujar Robert.

Titin sadar oleh tangannya sendiri, keluarganya perlahan-lahan hancur. Keputusasaan mulai mengusik batinnya.

“Kok saya begini ya. Kok saya itu galak. Saya sadar saya cerewet. Lama kelamaan saya rindu bahwa saya gak mau seperti ini. Saya pengen berubah”

Sebuah titik terang muncul secara tidak sengaja. Berawal saat ia mengantar anaknya belajar, rasa penasaran Titin membawanya ke sebuah ibadah. Di tempat itu ia menemukan sebuah jawaban.

“Hal pengampunan. Di saat itu saya belum bisa mengampuni mantan suami saya. Pada saat firman Tuhan disampaikan, saya benar-benar menangis. Saya menyadari semua kesalahan saya ada di depan saya. Bahkan saya anggap diri saya tidak berguna. Saya itu lebih hina dari sampah”

Hati Titin kacau. Rasa sakit teramat dalam membuatnya sulit untuk menerima kebenaran itu sampai ia ditantang untuk membuang semua masa lalunya.

“Kebetulan ada formulir. Formulir itu berisi tentang apa aja yang ingin kita lepaskan. Saya menulis tentang pelacur. Tidak gampang untuk mengakui semua itu karena itulah yang saya sembunyiin selama hidup saya. Juga mengenai mantan suami saya. Semua saya tulis tanpa terkecuali”

Saat itu, Titin juga ditantang untuk melakukan apa yang tidak diinginkan selama ini. “Ketika ada tantangan untuk maju, saya maju. Saya katakan, ‘Saya banyak kesalahan ya Tuhan, bahkan saya berlumuran dosa”

“Yang saya ingat, cuma Tuhan kasih saya kekuatan, ‘Aku pun bisa, Aku mati di atas kayu salib. Aku bisa mengampuni semua kesalahan kamu. Kamu siapa?’ Tuhan angkat saya, semua dosa-dosa diampuni oleh-Nya, saya ini siapa?’ Saya harus bisa mengampuni dia yang menyakiti saya. Saya mengampuni Haryono, apapun kesalahannya saya bisa mengampuni dia.”

“Itu rasanya legaaaa banget. Saya Udah gak ada pikiran dendam atau marah. Saya juga bisa menyebut ayah saya, mertua saya”

Hari itu adalah awal yang baru bagi Titin. Dengan penuh keberanian, ia juga mendatangi suaminya dan mengakui kesalahannya selama ini.

“Saya bisa terbuka bahkan sama suami saya yang selama ini saya sembunyikan. Saya sudah bisa mengakui. Saya minta maaf, saya minta ampun”

“Dia meminta maaf, dia basuh kaki saya. Saya bingung. Habis itu Dia bilang, ‘Saya minta maaf atas apa yang selama ini saya perbuat. Saya mau memulai hidup baru sebagai istri yang seperti Tuhan inginkan’” kata Robert.

Perubahan drastis juga Titin lakukan dengan melepaskan semua harta yang pernah ia terima dari pria lain.

“Di depan saya waktu itu dia telepon itu si bapak, ‘Cukup, saya gak mau seperti ini lagi. Saya mau hidup saya berubah,” kisah Robert.

“Jadi memang gak mudah. Gak segampang, ‘O..bisa kok’ tapi ternyata nggak. Tapi, di dalam Tuhan tidak ada yang mustahil. Asal kita berserah diri sama Tuhan, semuanya bisa”

Bukan hanya Titin yang dipulihkan, perlahan-lahan pernikahannya pun mengalami pemulihan.

“Saya ambil komitmen bahwa saya harus benar-benar total mengasihi keluarga ini. Entah itu anaknya berapa kalau memang dia istri yang kukasihi, itu dia bagian dari tulang rusuk saya. Itu bisa semua saya terima. Bahkan anaknya yang besar, saya usahakan sekolah disini,” ujar Robert.  

“Saya mau hidup saya dipakai oleh Tuhan. Jadi, apa yang kami lakukan sekeluarga kami serahkan sama Tuhan. Jadi, apa maunya Tuhan, kami ikut aja deh,” kata Titin menutup kesaksiannya.

Kisah ini ditayangkan 31 Mei 2010 dalam acara Solusi Life di O'Channel.

Sumber Kesaksian:
Titin Sumarsih
Sumber : V100511075525
Halaman :
1

Ikuti Kami