Prof Nelson Tansu, Ph.D: Usia 25 Tahun Mengajar S-3

Entrepreneurship / 9 November 2008

Kalangan Sendiri

Prof Nelson Tansu, Ph.D: Usia 25 Tahun Mengajar S-3

Tammy Official Writer
6232
Dia asli orang Indonesia yang prestasinya diakui dunia internasional. Pria kelahiran Medan 20 Oktober 1977, ini sudah meraih 11 penghargaan dan memiliki tiga hak paten atas penemuan risetnya. Pada usia 25 tahun ia telah berhasil meraih gelar PhD di University of Wisconsin, Madison, dan kemudian langsung mengajar mahasiswa S-3.
 
Dia menjadi profesor di universitas ternama Amerika, Lehigh University, Pensilvania, mengajar para mahasiswa di tingkat master (S-2), doktor (S-3), bahkan post doctoral Departemen Teknik Elektro dan Komputer.
 
Lebih dari 84 hasil riset maupun karya tulisnya dipublikasikan di berbagai konferensi dan jurnal ilmiah internasional. Sering diundang menjadi pembicara utama di berbagai seminar, konferensi dan pertemuan intelektual, terutama di Washington DC.
 
Selain itu, dia sering datang ke berbagai kota lain di AS dan luar AS seperti Kanada, sejumlah negara di Eropa, dan Asia. Yang mengagumkan, sudah ada tiga penemuan ilmiahnya yang dipatenkan di AS, yakni bidang semiconductor nanostructure optoelectronics devices dan high power semiconductor lasers. Di bidang itu, ia mengembangkan teknologi yang dapat diterapkan dalam aplikasi di bidang optical communication, biochemical sensors, sistem deteksi untuk senjata, dan lainnya.
 
Meski sudah hampir satu dekade ia berada di AS, hingga sekarang ia masih memegang paspor hijau berlambang garuda. Pria ganteng kelahiran Medan, 20 Oktober 1977, ini mengaku mencintai Indonesia. Ia tidak malu mengakui bahwa Indonesia adalah tanah kelahirannya. "Saya sangat cinta tanah kelahiran saya. Dan saya selalu ingin melakukan yang terbaik untuk Indonesia," katanya serius. "Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan merupakan bangsa yang mampu bersaing dengan bangsa-bangsa besar lainnya. Tentu saja jika bangsa kita terus bekerja keras," kata Nelson lagi.
 
Nelson Tansu adalah anak kedua di antara tiga bersaudara buah hati pasangan Iskandar Tansu dan Lily Auw yang berdomisili di Medan, Sumatera Utara. Kedua orang tua Nelson adalah pebisnis percetakan di Medan. Mereka adalah lulusan universitas di Jerman. Abang Nelson, Tony Tansu, adalah master dari Ohio, AS. Begitu juga adiknya, Inge Tansu, adalah lulusan Ohio State University (OSU). Tampak jelas bahwa Nelson memang berasal dari lingkungan keluarga berpendidikan.
 
Dalam perjalanan hidup dan karirnya, ia mengakui mendapat dukungan yang besar dari keluarga terutama kedua orang tua dan kakeknya. "Mereka menanamkan mengenai pentingnya pendidikan sejak saya masih kecil sekali," ujarnya.
 
Ketika Nelson masih SD, kedua orang tuanya sering membanding-bandingkan Nelson dengan beberapa sepupunya yang sudah doktor. Perbandingan tersebut sebenarnya kurang pas. Sebab, para sepupu Nelson itu jauh di atas usianya. Ada yang 20 tahun lebih tua. Tapi, Nelson kecil menganggapnya serius dan bertekad keras mengimbangi sekaligus melampauinya.
 
Waktu akhirnya menjawab impian Nelson tersebut. "Jadi, terima kasih buat kedua orang tua saya. Saya memang orang yang suka dengan banyak tantangan. Kita jadi terpacu, gitu," ungkapnya. Nelson mengaku, mendiang kakeknya dulu juga ikut memicu semangat serta disiplin belajarnya. "Almarhum kakek saya itu orang yang sangat baik, namun agak keras. Tetapi, karena kerasnya, saya malah menjadi lebih tekun dan berusaha sesempurna mungkin mencapai standar tertinggi dalam melakukan sesuatu," jelasnya.
 
Saat usia SD itu pulalah, Nelson kecil gemar membaca biografi para ilmuwan-fisikawan AS dan Eropa. Selain Albert Einstein yang menjadi pujaannya, nama-nama besar seperti Werner Heisenberg, Richard Feynman, dan Murray Gell-Mann ternyata sudah diakrabinya. "Mereka hebat. Dari bacaan tersebut, saya benar-benar terkejut, tergugah dengan prestasi para fisikawan luar biasa itu. Ada yang usianya muda sekali ketika meraih PhD, jadi profesor, dan ada pula yang berhasil menemukan teori yang luar biasa. Mereka masih muda ketika itu," jelas Nelson penuh kagum.
 
Berkat kegemarannya membaca itu, sejak kecil Nelson sudah mempunyai cita-cita yang besar. "Sejak SD kelas 3 atau kelas 4 di Medan, saya selalu ingin menjadi profesor di universitas di Amerika Serikat. Ini benar-benar saya cita-citakan sejak kecil," ujarnya dengan wajah serius.
 
Seiring dengan perjalanan waktu, Nelson meniti tangga pendidikan mengejar cita-cita masa kecilnya. Sebelum bertolak ke Amerika, lulusan terbaik SMU Sutomo 1 Medan 1995 ini lolos menjadi finalis Tim Olimpiade Fisika Indonesia. Sukses ini membuat dirinya mendapat tawaran beasiswa dari Bohn's Scholarships untuk kuliah di jurusan matematika terapan, teknik elektro, dan fisika di Universitas Wisconsin-Madison, Amerika Serikat.
 
Nelson TansuMasuk kampus September 1995, laki-laki berdarah Tionghoa ini menyandang gelar bachelor of science hanya dalam tempo dua tahun lebih sembilan bulan. Predikatnya pun summa cum laude. Setelah merampungkan S-1-nya di bidang applied mathematics, electrical engineering, and physics pada 1998, ia kebanjiran tawaran beasiswa dari berbagai perguruan tinggi top di Amerika. Meski ada tawaran dari universitas yang peringkatnya lebih tinggi, ia memilih tetap tinggal di Universitas Wisconsin dan meraih gelar doktor di bidang electrical engineering pada Mei 2003.
 
Selama bersekolah di sana, berkat beasiswa yang diperolehnya, orang tua Nelson hanya membiayai hingga tingkat S-1. Selebihnya berkat kerja keras dan prestasi Nelson sendiri. Biaya kuliah tingkat doktor hingga segala keperluan kuliah dan kehidupannya ditanggung lewat beasiswa universitas. "Beasiswa yang saya peroleh sudah lebih dari cukup untuk membiayai semua kuliah dan kebutuhan di universitas," katanya.
 
Selama menggarap program doktornya, Nelson terus mengukir prestasi. Berbagai penghargaan dikoleksinya, antara lain WARF Graduate University Fellowships dan Graduate Dissertator Travel Funding Award. Bahkan, penelitan doktornya di bidang photonics, optoelectronics, dan semiconductor nanostructires meraih penghargaan tertinggi di departemennya, yakni The 2003 Harold A. Peterson Best ECE Research Paper Award.

Setelah menyandang gelar doktor, Nelson mendapat tawaran menjadi asisten profesor dari berbagai penjuru universitas di Amerika. Peluang menggiurkan ini menjauhkan minatnya untuk kembali ke Tanah Air. Akhirnya, awal 2003, di usianya yang ke-25, ia memilih Lehigh University, dan menyandang gelar asisten profesor di bidang electrical and computer engineering. Di AS, itu merupakan gelar untuk guru besar baru di perguruan tinggi. "Walaupun saya adalah profesor di jurusan electrical and computer engineering, riset saya sebenarnya lebih condong ke arah fisika terapan dan quantum electronics," jelasnya.

Lehigh University merupakan sebuah universitas unggulan di bidang teknik dan fisika di kawasan East Coast, Negeri Paman Sam. Ia berhasil menyisihkan 300 doktor yang kehebatannya tidak diragukan lagi. "Seleksinya ketat sekali, sedangkan posisi yang diperebutkan hanya satu," ujarnya menggambarkan situasi saat itu.

Lelaki penggemar buah-buahan dan masakan Padang itu mengaku lega dan beruntung karena dirinya yang terpilih. Menurut Nelson, dari segi gaji dan materi, menjadi profesor di kampus top seperti yang dia alami sekarang sudah cukup lumayan. Berapa sih lumayannya? "Sangat bersainglah. Gaji profesor di universitas private terkemuka di Amerika Serikat adalah sangat kompetitif dibandingkan dengan gaji industri. Jadi, cukup baguslah, he...he...he...," katanya, menyelipkan senyum.

Sebagai intelektual muda, dia menjalani kehidupannya dengan tiada hari tanpa membaca, menulis, serta melakukan riset. Tentunya, dia juga menyiapkan materi serta bahan kuliah bagi para mahasiswanya. Kesibukannya itu bertumpu pada tiga hal yakni yakni, learning, teaching, and researching.

Boleh jadi, tak ada waktu sedikit pun yang dilalui Nelson dengan santai. Di sana, 24 jam sehari dilaluinya dengan segala aktivitas ilmiah. Waktu yang tersisa tak lebih dari istirahat tidur 4-5 jam per hari.

Selama mengajar di kampus, karena wajahnya yang masih muda, tak sedikit insan kampus yang menganggapnya sebagai mahasiswa S-1 atau program master. Dia dikira sebagai mahasiswa umumnya. Namun, bagi yang mengenalnya, terutama kalangan universitas atau jurusannya mengajar, begitu bertemu dirinya, mereka selalu menyapanya hormat: Prof Tansu.


Sumber : tokohindonesia.com/Tmy
Halaman :
1

Ikuti Kami