Memilin Kertas Beromzet 20 Juta Sebulan

Entrepreneurship / 7 December 2007

Kalangan Sendiri

Memilin Kertas Beromzet 20 Juta Sebulan

yosefel Official Writer
10740

Mendaur ulang barang bekas, siapa yang masih melakukannya? Di Yogyakarta Fransiskus Xaverius Harso Susanto (37) bersama anak-anak jalanan mendaur ulang koran bekas menjadi kerajinan, menjualnya untuk penghidupan.

KERTAS DAUR ULANG

F.X Harso Susanto atau Anto berperawakan sedang. Tingginya sekitar 170 cm, berkulit agak gelap dengan rambut sedikit gondrong. Bicaranya teduh seperti tanpa tekanan, barangkali karena jarang marah-marah. "Anak-anak mana takut pada saya? Tapi kalau istri saya yang datang semua pada diam," ujar Anto. Anak-anak yang dimaksud Anto adalah rekan-rekan kerjanya di bengkel daur ulang kertas bekas, di samping rumah kontrakan mereka di di RT 04 RW 09 Dusun Sorowajan, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Mereka teman-teman Anto ketika dia masih senang hidup di jalanan. Ada yang seusia tetapi lebih banyak yang berjarak belasan tahun. "Waktu itu masih kecil-kecil," jelasnya.Di tempat ini mereka mendaur ulang kertas bekas menjadi barang-barang yang bermanfaat seperti mangkuk tempat makanan kering, piring buah, kotak pakaian, wadah sampah, tempat menyimpan alat tulis, pot tanaman, tas, dan lain-lain. Pasarnya ke Eropa. "Ada eksportir dari Bantul yang pesan pada kami," jelas Anto.

MEMILIN, MENEKAN

Untuk sebuah kotak sampah berdiameter 30 cm atau pot berdiameter 10 cm yang bentuknya mirip ember, seperti ini cara membuatnya. Selembar kertas koran dicelupkan ke dalam bubur kanji lalu dipilin-pilin menyerupai tali. Pilinan itu, seutas demi seutas, dilingkarkan pada mal yang sudah disiapkan sambil diberi sedikit tekanan agar rapat. Setelah kering barulah dicat sesuai warna kesukaan.

Lain lagi cara membuat mangkuk atau piring buah. Yang ini kertas dilipat-lipat seukuran jari telunjuk orang dewasa, direkatkan dengan kanji, kemudian disusun sesuai bentuk yang diinginkan. Kali ini mesti teliti dan sabar sebab, ambil contoh, sebuah mangkuk yang dasarnya landai seukuran mangkuk bakso saja tersusun dari 1.000 lipatan kertas koran. "Kalau belum biasa, bisa-bisa langsung ambyar lagi," kata Anto. Tetapi bagi yang sudah terampil, sehari bisa dapat dua mangkuk yang kecil dan dua yang besar. Anto yang alumni SMA de Britto Yogyakarta tahun 1987 ini-pernah kuliah di MIPA dan Sastra Inggris Universitas Gajah Mada tetapi drop out-tidak pernah puas. Dia senang mencoba hal-hal baru. Sekarang bersama anak-anaknya Anto sedang bereksperimen dengan kertas koran yang dipintal. "Entah nanti jadi apa, belum tahu," kata Anto.

TERBUKA

Karyawan Anto-kalau boleh disebut begitu-tidak tetap. Kadang 10, kadang 15. "Tergantung musim," ujarnya terkekeh. Pernah tersisa hanya 5 orang. Mengapa demikian? Anak-anak yang hidup di jalan, kata Anto, memiliki budaya yang lain dari orang kebanyakan. Mereka tidak terikat waktu, tidak tertuntut untuk melakukan sesuatu hal. Maka Anto membuat jam kerja yang fleksibel. "Kalau musim hujan seperti sekarang mereka minta masuk pukul 9 pagi keluar pukul 5 sore. Bagi saya tidak jadi soal asal target kerja bisa dipenuhi," jelas Anto.

Yang unik adalah soal upah. Biasanya order disertai surat kontrak. Surat itu oleh Anto dibicarakan secara terbuka dengan anak-anak. Setelah sepakat, barulah kerja dimulai. Kenapa unik? Manalah ada pengusaha yang mau membeberkan keuntungannya? Harga kerajinan karya mereka beragam, mulai dari Rp 25 ribu hingga Rp 70 ribu seperti satu set mangkuk tempat makanan kering yang terdiri atas 2 pieces. Setiap bulan mereka menghabiskan sekitar 3-5 kuintal koran bekas yang dibeli seharga Rp 1.300 per kg. Dari ini Anto memiliki omzet Rp 20 juta per bulan dengan keuntungan 30-40%. "Bagi saya pribadi ini bukan sekadar upah atau hubungan saya sebagai pencetus dan anak-anak sebagai pekerja. Saya ingin ada relasi yang sejajar saja dan mereka belajar terbuka kalau suatu saat akan membuat hal yang sama seperti di sini di tempat lain. Terlalu idealis? Tidak juga. Ini lilin yang harus saya nyalakan sebagai orang kristiani," jelas Anto. Suaranya rada tegang.
Sumber : Usaha Kita, Desember 2007
Halaman :
1

Ikuti Kami