Ada Blues di Dunia Mereka

Film Review / 19 December 2006

Kalangan Sendiri

Ada Blues di Dunia Mereka

Tammy Official Writer
6953

Musik blues mungkin tidak sepopuler musik pop, rock bahkan R&B. Namun musik yang satu ini jelas banyak memberikan pengaruh perkembangan musik dunia. Dari genre ini hadir nama-nama besar seperti BB King, Jimi Hendrix, Eric Clapton, Jeff Beck, Ray Charles, Stevie Ray Vaughn, dan Jimmy Page. Kini hadir sebuah film yang membicarakan blues. Hal yang menarik, film ini adalah karya sineas Indonesia, negeri yang kurang akrab dengan blues. Aroma bluespun hadir lewat film Dunia Mereka yang dirilis pada 14 Desember 2006.

Blues di sini dihadirkan lewat sosok Filly (Ardinia Wirasti), gadis yang pandai memainkan gitar. Bagi dia, gitar adalah sosok pengganti ibunya yang tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang. Sedangkan blues yang memiliki melodi yang miris dan sendu adalah medium ungkapan perasaan bersalah Filly terhadap kematian sang ibu. Kepiawaian dan selera musik yang "berbeda" dari anak muda pada umumnya itu yang mempertemukan Filly dengan Ivan Bramono (Christian Sugiono). Mereka bergabung dengan band Capung Biru. Selain Ivan dan Filly ada Andi (Donny Sunjoyo) sebagai pemain bas, Barbuk (James K) sebagai dramer.

Ternyata jadi anak band bukanlah perkara yang mudah. Masalah mulai menghinggapi masing-masing personel. Terutama Filly. Selain harus menyembunyikan kegiatan nge-band dari sang ayah (diperankan Ray Sahetapy), dia juga harus berbagi waktu dengan sang kekasih Rio (Oka Antara). Sampai ketika Rio yang cemburu menyuruh Filly berhenti main band. Filly diperhadapkan pada pilihan. Rio atau Ivan dan bandnya. Sulit. Sebab selain sebagai pacar, Rio tahu rahasia terdalam dari gadis itu.

Persoalan grup itu tidak berhenti sampai di sana. Ivan sesungguhnya anak seorang konglomerat. Bagi dia band adalah alat untuk membuktikan jati diri di luar bayang-bayang sang ayah. Karena itu, ketika subsidi sang ayah dihentikan, Ivan terpaksa harus mencari cara mendapatkan uang agar band itu tidak berhenti berproduksi. Sukses yang mereka peroleh dari panggung tidak cukup untuk menutupi biaya produksi album.

Kesempatan datang dari perusahaan rekaman. Hanya saja, syaratnya band itu harus mengurangi warna blues. Di sini konflik di antara Filly dan Ivan merebak. Bagi seorang Ivan, logis untuk meraih keuntungan yang besar memang dibutuhkan sedikit pengorbanan. Tapi bagi Filly, menghentikan bermain bluesadalah sebuah pengorbanan idealisme yang tidak akan pernah dilakukan. Apakah perjuangan Capung Biru akan berhenti?

Bingkai
Film yang berangkat dari adaptasi novel karangan Monty Tiwa ini memang bukanlah film musikal dalam arti sesungguhnya. Band dan musik blues di film ini hanyalah bingkai dari kehidupan para tokoh di dalamnya.

Apa yang dihadirkan di film ini tidak jauh berbeda dengan film Garasi (Miles Films). Ada sekelompok anak muda yang mencari eksistensi diri lewat musik. Di dalamnya ada cinta segitiga, pemberontakan terhadap orangtua, serta pencarian jati diri. Di sana sini beberapa musisi seperti Wong Aksan dan Anda "Bunga" tampil sebagai cameo. Mereka juga terlibat sebagai pembuat ilustrasi musik film dan pengisi vokal di beberapa soundtrack film ini.

Ending film ini pun tidak jauh dari pakem film musik, yakni ditutup dengan konser. Hanya saja, patut diketahui Monty dan sang sutradara, Lasja Fauzia, sudah menggarap film ini jauh sebelum Garasi dibuat.

Ceritanya mengadaptasi novel berjudul sama yang ditulis oleh Monty. Hanya saja, sisi Filly yang lebih diutamakan. Namun, tetap saja ada beberapa bagian yang sedikit bolong dari kehidupan Filly. Seperti tidak dijelaskan alasan sang ayahnya, yang belakangan diketahui sebagai pemain piano di sebuah tempat semacam lounge melarang putrinya bermusik.

Demikian juga mengapa Filly wajib berkunjung ke seorang psikiater. Jika dia memang memiliki gangguan jiwa, hal itu kurang tergambar di film ini. Hanya di bagian awal ada adegan dia mandi hujan di malam hari. Itu sepertinya belum cukup menunjukkan parahnya "sakit" Filly.

Kisah drama percintaan dengan bumbu lagu-lagu blues (yang digarap Wong Aksan) sangat mudah dicerna dan dinikmati. Apalagi dalam film ini tertangkap pesan bahwa kita harus meyakini apa yang telah kita pilih. Karena keyakinan itu akan memerdekakan kita.

Halaman :
1

Ikuti Kami