Penantian Panjang Sebuah Kebenaran

Nasional / 12 December 2005

Kalangan Sendiri

Penantian Panjang Sebuah Kebenaran

Puji Astuti Official Writer
7354

JAWABAN.com - Jakarta - Tok... tok... tok... pintu rumah Ruminah diketuk berulang-ulang di pagi yang masih gulita itu. Jarum jam masih bertengger di angka 02.00 WIB. Maka bergegaslah Ruminah membukakan pintu. Tetapi begitu pintu dibuka, tidak ada seorang pun yang terlihat. Lalu sebuah bayangan berkelebat di balik gorden. Namun ketika kain gorden disibakkan, lagi-lagi tak ada orang di luar sana. Hari-hari berikutnya, terdengar suara langkah sepatu "tanpa pemilik" mondar-mandir di balik rumah. Kejadian ini membuat perasaan Ruminah campur aduk antara takut dan jengkel. Ternyata ini pun belum cukup, karena tiba-tiba telepon rumah berdering. "Ini ibunya Gunawan, ya?" suara lelaki terdengar di seberang telepon. "Iya," jawab Ruminah. "Anak ibu yang mati di Yogya Mal, Klender?" tanya lelaki itu, dan Ruminah kembali menjawab "Iya". "Kalau ada orang yang datang ke rumah ibu, diamkan saja!" bentak lelaki itu lalu menutup telepon. Inilah rupanya, teror yang dialami Ruminah pada Mei 1998. Belum lagi pertanyaan lugu dari tetangganya, yang khawatir jangan-jangan orang yang menggedor-gedor pintu itu adalah hantunya Gunawan (13 tahun). "Aduuh, saya sedih sekali," tutur Ruminah ketika ditemui SH pada peluncuran dan bedah buku "Kerusuhan Mei 1998" di Goethe Haus, Jakarta.

Teror itu dialaminya setiap hari mulai tanggal 13 Mei 1998, dan berhenti total 22 Mei 1998, sehari setelah Presiden Soeharto mundur. Namun ketakutan akan terulangnya peristiwa keji itu masih membayangi Ruminah hingga saat ini. "Saya khawatir terjadi lagi, kalau pelakunya tidak diadili," kata Ruminah yang hanya menemukan baju dan gesper bertuliskan "Gunawan" di antara mayat-mayat yang gosong di RS Cipto Mangunkusumo, pada 14 Mei 1998. Kisah Ruminah hanyalah secuil dari fakta kerusuhan Mei 1998 yang terjadi serempak di berbagai wilayah di Tanah Air. Namun, Ruminah yang tergabung dalam Forum Keluarga Korban Mei (FKKM) 1998 masih lebih beruntung dibandingkan dengan korban perkosaan.

Korban perkosaan sampai kini tetap membisu karena traumanya lebih besar daripada pembunuhan. Kemala Chandra Kirana (Ketua Komnas Perempuan) mengatakan, ketika membisu, orang lain padahal dapat mempolitisasi dan mengatasnamakan korban. Menurut Saparinah Sadli, mantan anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang menyelidiki kerusuhan Mei 1998, perkosaan memang mempunyai dampak yang sangat kompleks. Laporan TGPF juga menyebutkan kondisi umum para korban antara lain ketika diperiksa menangis, gemetar, dan sangat ketakutan; korban dan ibunya mengalami goncangan jiwa, bengong, dan pandangan mata kosong. Selain itu, ada pula yang kondisi kejiwaannya destruktif, sering mengamuk terutama bila bertemu laki-laki. Ada yang hampir bunuh diri, tapi ada juga yang meninggal setelah disuruh ibunya meminum cairan pembasmi serangga. Selain itu, ada seorang remaja berumur 14 tahun hamil setelah diperkosa.

Data TGPF menunjukkan, jumlah perkosaan mencapai 50 di Jakarta dan sekitarnya, 1 (Medan), 2 (Surabaya); perkosaan dengan penganiayaan 14 di Jakarta dan sekitarnya, penyerangan seksual/penganiayaan 9 di Jakarta dan sekitarnya, 1 (Medan); pelecehan 5 di Jakarta dan sekitarnya, 8 (Medan), 6 (Surabaya). Jumlah korban perkosaan dan pelecehan seksual menjadi perdebatan paling kontroversial. Dalam tubuh TGPF sendiri terjadi perdebatan panjang yang sempat menimbulkan konflik dalam proses penyelidikan terhadap korban. Namun anehnya, dokumen asli yang disimpan TGPF di Kantor Komnas HAM di Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat, hilang. "Dokumen asli TGPF yang disimpan di Komnas HAM hilang. Yang ada hanya fotokopian. Dan setelah kita telusuri, 90 persen alamat yang tertera di dalam data tersebut hilang," ungkap Ester Indahyani Jusuf, salah satu penulis buku "Kerusuhan Mei 1998".

"Jadi upaya pelupaan ini sangat sistematis. Kami percaya ini sebagai upaya pelaku kerusuhan 13-15 Mei 1998. Maka tekad kami untuk melawan pelupaan ini," kata Ester. Itulah salah satu hambatan dalam proses pembuatan buku setebal 470 halaman yang diterbitkan oleh SNB dan Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (APHI) itu. Belum lagi, tidak ada data yang bisa diakses dari TNI, Polri, dan pemerintah. Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso juga tidak mau memberi kesaksian secara terbuka atas kerusuhan di Jakarta. Menjelang penerbitan buku, malah ada surat dari Komnas HAM. Menurut Ester, Sriyana dari Komnas HAM menilai buku tersebut membongkar rahasia pekerjaan di Komnas HAM, padahal, menurut Ester, isi buku itu merupakan data laporan TGPF serta hasil investigasi SNB, APHI dan masyarakat korban.

Pengamat politik dari Center for Strategy and International Studies (CSIS), J Kristiadi, mengakui adanya intrik-intrik dalam tubuh militer, politisi, intelijen dan lain-lain yang menyulitkan penulisan buku tersebut. Buku itu, seperti kata Saparinah Sadli, padahal mendorong pemerintah dan DPR untuk menyelidiki kasus Mei. Saparinah berpendapat kasus Mei memenuhi unsur sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan karena telah dirancang, meluas (tidak hanya terjadi di satu kota), dan dibiarkan berlangsung (aparat keamanan tidak melakukan pengamanan khusus). Jadi tidak diterimanya data TGPF menunjukkan kuatnya penyangkalan dari penguasa. Di lain pihak, dosen Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri pesimistis kasus Mei dapat terungkap. "Mengapa? Saat ini yang berkuasa Orde Baru jilid II. Tidak akan terungkap kalau orang-orang yang terlibat itu memegang kekuasaan," ia mengingatkan. Dan jika kasus ini tidak dapat dipertanggungjawabkan, tidak ada jaminan kasus ini tidak akan terulang lagi.(fis)

Sumber : sinarharapan
Halaman :
1

Ikuti Kami