12 Mei Diusulkan Jadi Hari Anti-Kekerasan

Nasional / 12 December 2005

Kalangan Sendiri

12 Mei Diusulkan Jadi Hari Anti-Kekerasan

Puji Astuti Official Writer
7600

JAWABAN.com - PERINGATAN TRAGEDI TRISAKTI - Paskibra Universitas Trisakti mengusung foto dua korban Tragedi Trisakti 1998, Hafidhin Royan dan Elang Mulia Lesmana, dalam peringatan tragedi tewasnya sejumlah mahasiswa di kampus itu, Sabtu (12/5). Sembilan tahun sejak peristiwa itu berlalu, pemerintah dan DPR masih belum mampu menuntaskan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tersebut.

Jakarta - Universitas Trisakti telah mengusulkan kepada Pemerintah Indonesia untuk menetapkan tanggal 12 Mei sebagai Hari Anti-Kekerasan Nasional. Pasalnya, peristiwa 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti telah menandai suatu peradaban dan kebangkitan baru di Indonesia.

"Ini akan kita perjuangkan bukan dengan kekerasan karena Trisakti ingin menjadi menara air yang mengalirkan kesejukan," ujar Rektor Universitas Trisakti Prof. Thobi Mutis pada peringatan 9 tahun Tragedi Trisakti di Universitas Trisakti, Sabtu (12/5), yang dihadiri ratusan mahasiswa.

Menyinggung proses hukum dalam kasus Trisakti ini, Thobi mengatakan perjuangan Universitas Trisakti untuk menegakkan hukum terus dijalankan. "Hukum ini berjalan seperti air mengalir dan itu tidak bisa dibendung, kita hanya tunggu waktu saja karena keadilan tidak bisa dibendung," katanya. Meski demikian, dia mengaku tidak tahu persis faktor-faktor yang menghambat proses penyelesaian kasus Trisakti ini.

Sementara itu, Lasmiati, ibu kandung dari Alm. Heri Hartanto, menyatakan tim keluarga merasa kecewa karena sudah 9 tahun kasus ini terjadi namun proses hukum terhadap kasus tersebut tidak tuntas. Menurutnya, pihak keluarga korban Trisakti meminta kepada Presiden untuk mengeluarkan Keppres dan mencabut pernyataan pemerintah yang menyebutkan bahwa kasus Trisakti bukan pelanggaran HAM berat. "DPR pernah mengeluarkan pernyataan bahwa kasus Trisakti bukan merupakan pelanggaran HAM berat. Kami minta pernyataan tersebut dicabut. Kita berharap Bapak Presiden punya hati nurani untuk menuntaskan masalah ini," ujarnya. Dia menambahkan pihak orang tua korban merasa proses hukum dari kasus Trisakti hambar.

Peringatan tragedi Trisakti ini selain dihadiri oleh seluruh sivitas akademika juga di hadiri oleh para orang tua korban. Peringatan ini juga selain diperingati dengan upacara bendera juga dilakukan napak tilas dengan meletakkan karangan bunga di 4 prasasti.

Keempat prasasti tersebut terletak di halaman Universitas Trisakti. Prasasti-prasasti tersebut dibuat berdasarkan lokasi keempat korban ditembak. Rektor dan para orang tua korban juga meletakkan karangan bunga di tugu 12 Mei yang berada di halaman kampus Universitas Trisakti.
Peristiwa yang terjadi pada 12 Mei 1998 telah menewaskan 4 orang mahasiswa Trisakti, yakni Hafidin Royan, Heri Hartanto, Endriawan Sie, dan Elang Mulya Lesmana.

Tergantung Presiden dan DPR

Sementara itu, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan Kejaksaan Agung (Kejagung) mengalami kesulitan untuk membuktikan kasus Trisakti, Semanggi I dan II (TSS) sebagai pelanggaran HAM berat karena unsur pelanggaran HAM berat tidak terpenuhi.

Hendarman mengatakan hal itu setelah menghadiri acara penyambutan mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh yang bertajuk "Menyambut Kembalinya Abdul Rahman Saleh sebagai Warga Masyarakat Madani untuk Tegakknya Rule of Law" di Jakarta, Jumat (11/5) malam.
Menurut Hendarman, yang termasuk dalam pelanggaran HAM berat adalah kejahatan kemanusiaan dan genosida. Selain itu, pelanggaran HAM berat juga harus memenuhi unsur pembunuhan yang dilakukan secara sistematis, menyeluruh dan meluas.

Khusus untuk kasus Trisakti, Semanggi I dan II, Hendarman merasa kesulitan menemukan unsur menyeluruh dan meluas dalam ketiga kasus itu. "Pembuktian bahwa perbuatan itu dilakukan secara menyeluruh dan meluas itu yang kesulitan," katanya.

Selain itu, apabila ketiga kasus yang terjadi pada masa reformasi itu dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, diperlukan rekomendasi DPR untuk memprosesnya.

Hal itu juga dianggap Hendarman sebagai halangan, karena hingga saat ini keputusan politis dari DPR itu tidak diberikan. Senada dengan Hendarman, mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh yang ditemui secara terpisah mengatakan Kejagung akan tetap berpegang pada pendirian serupa, yaitu menunggu rekomendasi DPR. Ketiga kasus itu tidak akan diproses sebagai pelanggaran HAM berat selama rekomendasi dari legislatif tidak diberikan.

Sementara itu, Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) meminta Jaksa Agung Hendarman Supandji untuk menuntaskan penanganan kasus dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II yang terjadi pada 1998-1999.

Dewan Pimpinan Nasional Peradi sangat prihatin dan menyesalkan sikap penyelenggara negara terhadap penuntasan kasus Trisakti, Semanggi I dan II, yang telah ditangani penegak hukum pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri, dan saat ini oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Menurut Peradi, rekomendasi DPR bukanlah suatu produk hukum yang dapat dijadikan sebagai dasar Kejaksaan Agung untuk menghentikan penyelidikan terhadap kasus dugaan pelanggaran HAM berat pada peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II. (nat)

Sumber : Stevani Elisabeth - sinarharapan.co.id
Halaman :
1

Ikuti Kami