Pendeta Ini Menyatakan Orang Yang Sakit Mental Tidak Boleh Jadi Pendeta, Kamu Setuju?
Sumber: Facebook

Internasional / 19 September 2019

Kalangan Sendiri

Pendeta Ini Menyatakan Orang Yang Sakit Mental Tidak Boleh Jadi Pendeta, Kamu Setuju?

Puji Astuti Official Writer
3678

Seorang pendeta yang mengaku teman dari Jarrid Wilson, pendeta yang bunuh diri beberapa waktu lalu mengatakan bahwa orang sakit mental seharusnya tidak dibiarkan menjadi seorang pendeta atau gembala sidang.

Dale Partridge adalah seorang pendeta dan gembala yang berfokus menanam gereja rumah. Menurut Partridge gereja yang membiarkan seseorang dengan penyakit mental  atau memiliki keraguan serius tentang imannya untuk tetap menduduki posisi kepemimpinan adalah tindakan “sembrono” dan tidak Alkitabiah.

Orang sakit mental dan ragu akan kebenaran Alkitab jadi pendeta itu tidak Alkitabiah

“Seperti yang telah kita semua saksikan, orang-orang yang ditempatkan dalam peran penggembalaan di gereja-gereja melakukan bunuh diri dan kemurtadan publik pada frekuensi yang mengkhawatirkan. Orang-orang ini juga tidak memiliki pergumulan rahasia. Hampir semua tragedi baru-baru ini dilakukan oleh para pria yang secara terbuka mengakui penyakit mental mereka dan keraguan akan doktrinnya. Pertanyaan sejuta dolar-nya adalah ini: Mengapa gereja menempatkan orang, yang sangat jujur tentang kehancuran mereka saat ini, dalam posisi kepemimpinan?” demikian pertanyaan yang diungkapkan Partridge.

Menurutnya, jika orang Kristen mengacu kepada Alkitab, hal tersebut tidak diperbolehkan.

Syarat jadi pendeta berdasarkan Alkitab

“Alkitab memberi kita instruksi yang sangat jelas mengenai kualifikasi seorang gembala dalam gereja (1 Timotius 3 dan Titus 1). Mereka memanggil pria yang berpikiran jernih, memiliki pengendalian diri, sehat secara dokrin, disiplin, teruji, kudus (dan daftarnya masih panjang). Gereja, tidak menerima atau mentoleransi atau mengerti atau berbelaskasihan untuk mempekerjakan seseorang untuk menggembalakan jemaat Tuhan yang secara terbuka sedang bergumul dengan sakit mental. Itu tidak Alkitabiah, itu sembrono, itu berbahaya, dan seperti yang kita lihat, itu menjadi target yang mudah untuk musuh menghujani gereja dengan tragedi nasional,” demikian tambahnya.

“Jika pendetamu mengakui dalam kondisi sakit mental maka dia butuh didisiplinkan bukan mendisiplinkan orang lain. Dia butuh istirahat secara fisik bukan kerja keras secara spiritual. Dia butuh privasi bukan publikasi. Dia butuh doa dalam ketekunan bukan tekanan yang sangat berat. Dia butuh untuk mengundurkan diri, bukan dipromosikan. Ketika seorang pemimpin jatuh maka banyak yang akan mengikuti. Hal itu menimbulkan kebingungan, keraguan, ketakutan dan rangkaian keprihatinan kepada orang-orang yang dipimpinnya. Tuhan sudah memberikan instruksi yang jelas dalam Firmannya menawarkan perlindungan bagi gereja-Nya. Setiap kali kita memutuskan untuk melanggar perintah-Nya, kita hanya akan merusak diri kita. Pendeta bukan hanya untuk seseorang yang mau. Seorang pendeta bukan hanya sekedar seseorang yang memiliki karunia. Seorang pendeta bukan hanya mereka yang berpendidikan. Dia haruslah orang yang memenuhi kualifikasinya Tuhan. Hal ini bukanlah legalisme atau militansi Alkitabiah. Ini adalah pagar perlindungan bagi gereja Tuhan. Ini saatnya bangun,” demikian tegas Partrige.

Menimbulkan pro dan kontra dikalangan Kristen

Pernyataan yang ia unggah di sosial media itu disukai lebih dari 7000 kali, namun menimbulkan debat, ada yang mendukung pernyataannya namun juga ada yang menyanggahnya.

Sebuah akun bernama Jami Parker menuliskan, “Saya sempat mengenal JW (Jarred Wilson) saat menjadi staf di High Point di Memphis. Aku berharap perkataanmu mendorong dan mencegah mereka untuk membuat pilihan yang sama.”

Namun pernyataan Partrige ini ditentang oleh Dr. Therese, seorang psikologis klinis Kristen berlisensi, di Exploring Therapy di California.

“Dale, sebagai psikologis klinis dan orang Kristen yang juga melayani di pelayanan, aku harus berkata bahwa pernyataan kamu di postingan ini muncul dari ketidaktahuan dan lebih kepada stigma tentang kesehatan mental. Di Amerika, hampir setengah orang dewasa mengalami penyakit mental selama hidup mereka. Itu karena kita hidup di dunia yang sudah rusak. Gereja tidak butuh pendeta yang sempurna (mereka tidak ada), mereka butuh Pendeta yang  terhubung dengan Tuhan, mengasihi sesama, untuk melakukan perkejaan mereka haruslah sehat termasuk mencari pertolongan, dan mereka yang mengenali kemanusiaan mereka dan ketidaksempurnaannya,” demikian tulis Dr. Therese.

“Saya menyarankan kamu mencari lebih banyak hikmat dibidang kesehatan mental dan mempertimbangkan betapa merugikannya pengajaranmu yang salah bagi gereja. Dengan hormat, keamanan bagi gerjea adalah mengakui bahwa kamu dan penghakimanmu, sikap merendahkan dan stigmamu adalah salah,” demikian tambahnya.

Partridge mengaku teman dekat Jarrid

Meresponi pro dan kontra terhadap postingannya, Partridge menjelaskan bahwa Jarrid adalah teman sejatinya sejak lama dan dia bukannya tidak sensitive dengan membuat pernyataan tersebut beberapa hari setelah kematiannya.

“Kami berbincang tujuh hari sebelum kematiannya. Aku menangis saat mendengar apa yang terjadi. Aku menangis pada pagi hari setelahnya. Tidak ada satu haripun setelah itu aku tidak memikirkan tentang kematiannya. Rumah kami selalu berdoa setiap pagi untuk isteri dan anak-anaknya di masa-masa sulit ini. Secara keseluruhan, aku ingin kamu tahu, bahwa aku benar-benar hancur hati,” demikian ungkapnya.

Menurut  Partridge, setelah bekerja selama 18 bulan di Harvest Christian Fellowship Jarrid Wilson merasa kelelahan dengan pekerjaannya yang termasuk melakukan pemakaman terhadap seorang wanita muda yang bunuh diri sehari sebelum Jarrid bunuh diri.

Berdasarkan pembicaraan terakhir saya dan Jarrid, rasa hancur hati saya berubah menjadi kemarahan. Dalam pembicaraan kami, meskipun Jarris mencintai pelayanannya dia mengungkapkan intensitas dan kewalahan yang ia alami dalam posisinya sebagai seorang pendeta untuk dewasa muda di Harvest. Sebagai seorang pendeta, saya sepenuhnya berempati terhadap tuntutan fisik, emosi, mental, dan spiritual yang luar biasa dari pelayanan pastoral. Penggembalaan adalah salah satu panggilan terberat dalam kehidupan manusia,” demikian jelasnya.

Menurut Partridge, saat itu Jarrid siap untuk mengundurkan diri dari pelayanan penuh waktu. Yang benar-benar ingin dilakukannya adalah mengerjakan apa yang menjadi hasrat terbesarnya – membantu orang-orang mengalami kesembuhan dari depresi, kegelisahan dan pikiran bunuh diri melalui organisasi nirlabanya Anthem of Home.

“Pembicaraannya kepadaku minggu lalu adalah berpusat kepada transisi ini. Dia membutuhkan bantuanku untuk berpindah dari posisinya saat itu kepada apa yang diinginkannya. Dia butuh istirahat dan dia tahu itu.”

Ini pemicu keputusan bunuh diri Jarrid menurut Partridge

Jadi berdasarkan pengamatannya, mengijinkan Jarrid untuk memimpin pemakaman orang yang bunuh diri adalah salah satu pemicu yang membuatnya jatuh kepada keputusan bunuh diri. Ia menyayangkan gereja Jarrid yang membiarkan hal tersebut terjadi.

Untuk itu ia mengundang gereja untuk melakukan pembenahan berdasarkan Firman Tuhan. Menurutnya saat ini, gereja butuh pendeta-pendeta model yang dituliskan di Perjanjian Baru.

Bagaimana dengan kamu, apakah kamu setuju dengan Pendeta Partridge tentang syarat dan standar yang harusnya dipenuhi oleh hamba Tuhan, pendeta dan gembala sidang seperti yang dituliskan dalam Firman Tuhan ini? Atau sebagai jemaat dan umat, kita harus mentoleransinya, dengan berargumentasi bahwa pendeta juga manusia biasa. 

Sumber : Christianpost.com
Halaman :
1

Ikuti Kami