Kisah Gereja Ayam yang Terlantar di Magelang
Sumber: thejakartaglobe.com

Internasional / 17 May 2014

Kalangan Sendiri

Kisah Gereja Ayam yang Terlantar di Magelang

Lois Official Writer
26958

Sebuah gedung gereja berbentuk unik, berdiri tak terawat di salah satu bukit Magelang, Jawa Pusat. Gereja tersebut bernama sesuai bentuknya, yaitu Gereja Ayam. Jadi tak usah heran dengan namanya. Dengan paruh merah yang naik ke atas seperti sedang berkoak, sepertinya ayam raksasa itu bisa hidup kapan saja. Namun, badan ayam sendiri menunjukkan jati diri sebagai bangunan gereja.

“Saya tiba-tiba dapat penglihatan sebuah tempat di bukit, dibangun untuk memuji Tuhan,” ujar Daniel Alamsjah (67) sang pencipta bangunan tersebut. Menurutnya, Gereja Ayam ini bukanlah ayam ataupun gereja, namun dibangun sebagai tempat berdoa. Lagipula, Alamsjah juga mengatakan bahwa bangunan itu adalah berbentuk burung merpati, namun nampaknya semua orang tak sependapat.

Awalnya, dia bekerja di Jakarta tahun 1989 ketika mendapatkan penglihatan itu. Saat Idul Fitri tahun itu, dia berjalan berkeliling Magelang dimana keluarga istrinya tinggal ketika dia melihat lahan yang persis seperti penglihatannya.

“’Tuhan, saya bukan pendeta, ini bukan tempat saya. Saya bukan seorang fundamentalis. Saya hanyalah seorang penganut yang mempraktekkan ajaran Yesus.’ Itu pikiran saya waktu itu. Alasan lainnya untuk keberatan saya, saya tidak punya banyak uang,” ujarnya lagi.

Setelah bertemu dengan sang pemilk, Alamsjah memutuskan untuk membelinya dengan harga yang tepat. Maka dibangunlah bangunan yang ada di Bukit Rhema ini dengan modal Rp 2 juta. Berada di antara dua desa, Kembang Limus dan Karangrejo, bangunan ini tidak hanya diperuntukkan bagi umat Kristen.

“Mungkin karena iman Kristen saya, orang-orang berpikir saya membangun gereja. Tapi ini bukan gereja. Saya membangunnya sebagai rumah doa, bukan gereja, tapi tempat bagi setiap orang yang percaya pada Allah.” Bahkan menurut Alamsjah, ada satu tempat di dalam gereja itu yang digunakan sebagai pusat rehabilitasi bagi anak-anak dengan kekurangan fisik, orang ketergantungan obat terlarang, orang kurang waras, dan para anak muda yang punya masalah,” ujarnya.

Namun, semakin tua, semakin sulit baginya untuk mencapai puncak bukit. Pada tahun 2000, pintu bangunan tersebut harus ditutup karena perlu biaya perawatan yang sangat besar. Bahkan bangunan itu belum sempat diselesaikan sampai hari ini. “Di dalam prosesnya, saya menjadi semakin religious, meskipun saya ingin melanjutkan pembangunan gedung tersebut, saya tidak bisa karena saya tidak punya uang. Saya tua dan telah lanjut usia.”

Kini, gereja tersebut dipakai untuk menarik para wisatawan untuk mengeksplorasi dan banyak rumor di balik sejarahnya. Tiap wisatawan pasti menanyakan bangunan itu pada Wasno, salah seorang donatur sekaligus pemandu wisata.

 

Baca juga :

Semua Karena Ibu Angkat

Berbagai Jenis Pelecehan di Tempat Kerja

Anak Kecil Korban Pelecehan Seksual Bisa Memakai Terapi Ini

Marmut Merah Jambu, Kisah Cinta Pertama Dika di SMA

Percantik Rumah dengan Modal Minimalis

4 Hal yang Mengguncang Menkominfo di Mei 2014

Sumber : thejakartaglobe.com by lois ho/jawaban.com
Halaman :
1

Ikuti Kami