Pada
tanggal 3 Mei lalu, sebanyak 20 petugas kepolisian China lakukan pengerebekan mendadak
ketika jemaat Gereja Zhongfu Wanmin di provinsi Guangdong, China bagian Selatan
tengah menggelar ibadah malam. Semua telepon seluler, kartu ATM, dan kartu
identitas diri jemaat gereja disita dan sebanyak 30 anggota gereja, termasuk pimpinan
gereja Pendeta Li Pang dan sepasang suami istri asal Amerika Serikat berserta dua anaknya.
Petugas polisi
bahkan melumpuhkan Pendeta Pang karena berusaha merekam penggerebekan. Dia
tetap ditahan meskipun sebagian jemaat lain sudah dibebaskan. Sang istri, Huang
Xiaorui bahkan tidak diberi ijin untuk bertemu dengan Pendeta Pang di sel tahanan.
Berdasarkan
pernyataan pihak kepolisian, penggerebekan terjadi karena Gereja Zhongfu Wanmin
dinilai melakukan perkumpulan ibadah yang ilegal dan gereja tersebut tidak terdaftar
secara administratif di pemerintahan. Selain itu, pihak gereja juga dituduh menampung warga asing, yang jelas sangat dilarang di China.
Tapi Huang dengan
terang membantah tuduhan itu. “Kami tidak pernah menampung orang asing manapun.
Kami tinggal di Tangxia. Pasangan (asing) itu adalah orang Amerika, tapi mereka
sudah terdaftar sebagai warga negara Hong Kong. Mereka bergabung dengan Gereja
Tangxia sejak satu dekade yang lalu, dan mereka hanya ingin berkunjung ke gereja kami Rabu kemarin,” ucap Huang.
Ini
bukanlah kali pertama terjadi penggerebekan di Gereja Zhongfu Wanmin. Tapi
selama beberapa tahun belakangan ini pemerintah telah melakukan penganiayaan terhadap pihak gereja.
Penggerebekan
di gereja-gereja di Guangdong sudah terjadi hampir sebulan terakhir. Hal ini
diketahui oleh organisasi yang fokus melindungi gereja teraniaya di China, China
Aids, saat mendengar berita penahanan Pendeta Xu Rongzhang asal Taiwan, yang
ditahan karena menyanyikan lagu rohani ‘Jesus Loves You’. Pemerintah setempat dengan keras melarang warganya untuk menyanyikan lagu-lagu Kristen.
Sebagai
tebusan pembebasan terhadap jemaat yang ditahan, pihak kepolisian memaksa
mereka untuk menulis pernyataan untuk tak lagi menggelar acara-acara keagamaan.
Pendeta Xu, yang sudah dibebaskan, bahkan diancam supaya membatasi pelayannya.
Penganiayaan
umat Kristen di China tentu saja tak sebanding dengan apa yang dialami umat
Kristen di beberapa belahan negara, yang masih diberi kebebasan beribadah dan
melakukan perkumpulan doa. Untuk menghentikan kekejaman rezim Partai Komunis di
China, mari terus berdoa bagi mereka yang teraniaya karena mempercayai Yesus
dalam hidupnya. Doa kita sangat berharga untuk membebaskan mereka dari tekanan fisik
dan psikis yang mereka derita.