Ketakutan yang muncul adalah waktu yang dimiliki bersama dengan kita tidak akan pernah sama lagi seperti ketika dirinya masih lajang. Fokusnya pasti akan lebih banyak kepada istri dan anak-anak yang hadir di dalam keluarga mereka kelak. Berjalan waktu, kita menilai bahwa ia akan berubah menjadi teman yang “tidak asyik” lagi. Jarak yang ada membuat kita pun menjadi kesal dan marah.
Pertama yang harus dimengerti adalah ketika seseorang sudah masuk ke dalam pernikahan maka semuanya akan berubah. Memang tidak semuanya, tetapi apa yang menjadi fokus dari orang tersebut setidaknya akan menjadi berubah. Pasangan adalah prioritasnya, bukan yang lain.
Hal yang kedua adalah status barunya tidak akan membuatnya jadi total lupa dengan dirimu. Semenjak hubungan pertemanan itu terbangun, sampai kapan pun, diri kita akan menjadi bagiannya.
Kalau pun perilakunya benar-benar berubah kepadamu, yang kamu harus lakukan adalah seperti apa yang dituliskan oleh Alkitab,
“Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Matius 22:37-39)
Jangan menjadi pesimis terhadap orang yang menikah. Kamu tetap bisa memiliki relasi yang kuat dengan temanmu tersebut. Tetap tunjukkan kasih dan lakukan hal-hal yang membangun sebagai satu komunitas. Kamu akan melihat bahwa meski statusnya berubah, tetapi ia adalah teman yang menyenangkan.
Sumber : boundless.org