Sejak kecil
perempuan kelahiran Tasikmalaya ini sudah bercita-cita ingin menjadi seorang bidan.
Cita-cita ini muncul dari kekagumannya kepada tindakan sang ibu yang dengan senang
hati menolong perempuan-perempuan hamil yang akan bersalin di desanya yang tidak dilengkapi dengan fasilitas pelayanan kesehatan sejenis puskesmas dan klinik bidan.
Witnowati pun
akhirnya berhasil meraih cita-cita masa kecilnya itu menjadi seorang bidan. Dengan
gelar ini, dia berharap bisa mengikuti jejak sang ibu yang memberikan hidupnya untuk membantu dan menolong orang lain.
Selulus dari
sekolah bidan, perempuan yang akrab disapa Wiwied ini pun menikah dengan kekasihnya, Edy Wibowo. Setelah menikah Wiwied pun bermimpi untuk membuka klinik pribadinya
di rumah. Namun apa daya, nyatanya kehidupan Wiwied dan sang suami tidak sebaik
yang mereka pikirkan. Saat itu, baik Wiwied maupun suaminya justru sama-sama pengangguran.
“Setelah saya lulus bidan. Kami menikah, tapi pada saat itu kami berdua belum mendapatkan pekerjaan. Saya masih nganggur, suami saya juga masih nganggur,” ungkap Wiwied.
Awal
pernikahan itu menjadi masa paling sulit bagi keluarga Wiwied, khususnya dalam hal
keuangan. Mereka tak punya cukup uang saat itu dan bahkan untuk biaya sewa kos-kosan pun masih dibayarkan oleh kakak Wiwied.
Setelah sekian
lama masa penantiannya untuk mendapatkan pekerjaan, Wiwied pun menerima sebuah
tawaran untuk bekerja di sebuah klinik meskipun hanya akan menjadi perawat saja. Sementara suaminya, Edy mulai bekerja sebagai sales di sebuah perusahaan.
Meskipun keduanya
sudah bekerja, persoalan keuangan masih saja menjadi masalah. Wiwied tak
kunjung mendapat gaji karena kondisi klinik yang sepi pengunjung. Kondisi ini cukup
lama berlangsung, hingga pada akhirnya pemilik klinik memutuskan untuk menutup klinik tersebut.
“Saat
mendengar klinik itu akan ditutup dan saya harus meninggalkan tempat itu, saya
bingung. Saya sedih. Karena saya tidak tahu harus kemana. Harus tinggal dimana, apa yang harus saya lakukan. Semua perasaannya bercampur baur,” terang Wiwied.
Di tengah kondisi yang hampir putus asa, Edy lah yang selalu menguatkan Wiwied. Dia menguatkan sang istri dan mengingatkan bahwa Tuhanlah satu-satunya tempat untuk mengadu. Karena itu, hal yang mereka perlu lakukan adalah berdoa dan bukan justru khawatir dengan kondisi yang ada. “Suami hanya bilang, ‘Kita berdoa. Kita minta sama Tuhan, biar dikasih jalan, apa rencananya buat kita.’”
Saat pasangan
ini sepakat menyerahkan segala pergumulan mereka kepada Tuhan, saat itu pula Tuhan
membukakan jalan bagi mereka untuk pindah ke desa Cibodas, yang berlokasi di wilayah sekitar Lembang, Bandung.
Bermula dari
sebuah garasi kecil yang mereka sewa, klinik Wiwied sedikit demi sedikit semakin
berkembang. Keinginan Wiwied untuk menolong orang-orang akhirnya bisa dia
lakukan di desa ini. Tanpa dukungan transportasi yang memadai, Wiwied mendatangi
warga yang membutuhkan pertolongannya, dari rumah ke rumah dan dari desa ke desa.
“Saya
melayani di desa Cibodas, bukan hanya di tempat (klinik saya) tapi saya juga harus berkunjung
ke rumah-rumah karena jaraknya yang sangat jauh. Juga kurangnya transportasi di desa kami,” ucapnya.
Bagi Wiwied,
menolong orang lain adalah sebuah kebahagiaan yang besar. Bukan soal uang yang dia
terima, keselamatan orang-orang di sanalah yang terpenting. Meskipun dia merasa
capek dan berjuang dengan segala tantangan yang dia hadapi untuk mencapai desa-desa
yang dia layani. “Saya prinsipnya yang penting tertolong dulu, uang belakangan. Kepuasan buat saya bisa menolong mereka.”
Beranjak dari pelayanan medis yang dia lakukan,
Wiwied pun berinsiatif untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak usia belia atau
PAUD. Sekolah ini dibangun sebagai tempat bermain bagi anak-anak belia yang belum mengecap pendidikan formal.
Sebagai
suami, Edy Wibowo tetap mendukung sang istri dalam segala pelayanannya. Karena dia
tahu bahwa apa yang dilakukan Wiwied adalah hal yang mencerminkan teladan Yesus.
Bagi Edy, sang istri bukan hanya seorang bidan tetapi seorang pelayan masyarakat.
“Suri tauladan Yesus adalah pedoman dari kehidupan kita. Sehingga apa yang kita
lakukan menjadi sebuah implementasi yang diajarkan oleh Yesus Kristus,” tutur Edy.
Wiwied pun
menyadari betul bahwa apa yang dia miliki saat ini adalah berkat Tuhan. Bahkan belas
kasihan yang dia berikan kepada orang lain sumbernya dari Tuhan. Ia tahu bahwa
Tuhan menempatkan dirinya di tempat yang tepat. “Tuhan menurut saya Tuhan yang
hidup, Tuhan yang menolong saya, Tuhan yang mengasihi saya, Tuhan yang
mengajari saya untuk mengasihi sesama yaitu Tuhan kita yang sama, Tuhan Yesus
Kristus,” tandasnya.