Perdebatan tentang
seberapa banyak pekerjaan rumah (PR) yang diberikan guru ke anak masih belum menemukan
solusi. Seperti halnya guru kelas dua SD di Texas lalu, yang mendapatkan pujian
dari para orang tua di seluruh Amerika yang meratapi beban tugas yang diberikan
guru kepada anak muridnya. Sang guru, Brandy Young mengatakan orang tua tidak perlu
menandatangani PR anak-anak mereka sepanjang tahun ini, tapi hanya perlu mengambil
waktu untuk bisa makan bersama dengan keluarga saja serta punya waktu bermain di luar dan tidur lebih awal.
Pertanyaannya
seberapa banyak anak-anak akan mengerjakan PR mereka di luar sekolah masih terus
menjadi kontroversi, terutama bagi orang tua yang bertanya soal kebijakan tanpa
PR kepada anak-anak. Mereka khawatir anak-anak mereka akan kehilangan keuntungan potensial akademik.
Perdebatan soal
PR anak sekolah ini juga ternyata muncul di Indonesia. Di tahun 2016 silam, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan pernah mengatakan supaya siswa
jangan dibebankan PR yang banyak. Dia pun menyarankan supaya anak-anak didik lebih baik mengerjakan semua tugas di sekolah tanpa harus dibebani banyak PR.
Nah, untuk menjawab
pertanyaan ini, mari menyimak apa yang dikatakan oleh para peneliti soal hal ini:
Penelitian yang
paling komprehensif tentang PR sampai saat ini didapatkan dari 2006 hasil
analisis oleh Profesor Harris Cooper dari Universitas Duke. Dia menemukan
korelasi positif antara PR dan prestasi siswa, yang berarti siswa yang melakukan
PR dinilai lebih baik di sekolah. Korelasi ini ditemukan berhasil kepada siswa yang lebih tua daripada mereka yang lebih muda.
Analisis Cooper
difokuskan kepada bagaimana dampak PR terhadap prestasi akademik. Laporannya mencatat
kalau PR diduga bisa meningkatkan kebiasaan belajar, sikap menghadapi sekolah,
disiplin pribadi, rasa ingin tahu dan keterampilan dalam memecah masalah pribadi.
Di sisi lain beberapa penelitian menunjukkan bahwa PR siswa bisa menyebabkan kelelahan
fisik dan emosional, menimbulkan sikap negatif tentang belajar dan menguras waktu senggang anak.
Meskipun korelasi
antara PR dan kinerja siswa terbilang lemah, Cooper berpendapat kalau sejumlah
kecil PR tetap menyumbangkan manfaat bagi anak. Siswa kelas dua tidak harus mengerjakan PR selama 2 jam setiap malam, tapi mereka juga tidak boleh tidak melakukan PR.
Perdebatan
Tentu saja hasil
penelitian Cooper tidak begitu saja diterima oleh banyak orang. Cathy Vatterott,
seorang profesor pendidikan di Universitas Missouri-St Louis, mendukung kalau standar
aturan sekolah-sekolah yang menetapkan pengerjaan PR ‘10 menit’ per tingkat
kelas sudah maksimal, tapi dia berpikir tidak ada bukti yang cukup kalau PR membantu
siswa SD. “Korelasi ini tidak berkaitan. Apakah PR menyebabkan prestasi, atau berprestasi tinggi melakukan lebih banyak PR?” ucap Vatterott.
Vatterott mengatakan
bahwa dirinya lebih mendukung kebijakan untuk lebih meningkatkan kualitas PR yang dibebankan kepada siswa dan menghilangkan PR kepada siswa.
Cooper mengakui
bahwa beberapa siswa yang benar-benar membawa pulang terlalu banyak PR membuat
orang tua khawatir. Tapi cara terbaik untuk menyikapi seberapa banyak PR yang ideal
yang harus diberikan kepada siswa sama seperti meminum obat atau suplemen diet.
“Jika Anda memakan terlalu sedikit obat itu tak akan memberi efek. Jika Anda
memakan obat dalam jumlah yang tepat, Anda akan merasa lebih baik,” ucap
Cooper.
Jadi menurut
Cooper, banyak tidaknya PR yang dibebankan kepada siswa harusnya diukur dari kapasitas
dan kemampuan siswa itu sendiri. Karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa ‘banyaknya
PR yang dibebankan kepada siswa mampu meningkatkan prestasi anak’ tak
sepenuhnya benar.