Papaku termasuk orang yang tidak mau
merepotkan anak. Entahlah apa karena ingin terlihat kuat atau memang terlalu
mandiri, dulu saat sehat untuk makanpun jarang meminta disiapkan dan lebih
memilih ambil sendiri. Bukannya sebagai anak saya tidak hormat orang tua, tapi
yah begitulah papa. Sebisa mungkin yang masih bisa dia lakukan sendiri pasti
dia lakukan dan sikap itu jadi salah satu yang saya contoh juga darinya. Memang
kita makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tapi selama kita masih bisa lakukan sendiri, untuk apa harus merepotkan orang lain.
Januari 2015 awal ketika papa diserang stroke, aku selalu menangis, dan bertanya-tanya pada Tuhan, kenapa harus papa. Masih sangat jelas bisa kuingat kondisi papa yang bagiku layaknya hero yang kuat
seperti di film-film berubah menjadi tak berdaya karena diserang sakit yang tak diduga. Ya, dia terkena stroke. Sebelah kanan tubuhnya tidak bisa berfungsi
sebagaimana mestinya. Hari itulah hatiku begitu hancur, bayang-bayang mimpiku
bersama papa terasa seperti direnggut seketika. Aku tahu sakit ini tidak
seperti sakit batuk yang dalam waktu seminggu bisa segera sembuh. Aku sering
mendengar orang bilang, ada hikmah dibalik peristiwa, tapi aku lebih meyakini
sesuatu terjadi untuk sebuah alasan. Tidak ada yang kebetulan, karena sejak dalam kandunganpun Tuhan sudah mengatur semuanya.
Tak ada satupun anak di dunia ini yang
senang ketika orang tuanya sakit. Tapi ada ungkapan, lebih baik menyalakan
lilin daripada memaki kegelapan dan aku belajar arti dari ungkapan itu. Aku
coba bersyukur dengan apa yang terjadi, dan tidak mengeluh dan menyesali yang
sudah lewat. Dulu sebelum papa sakit, aku sering bertanya, kapan papa akan pensiun dari pekerjaannya. Kasihan melihatnya setiap hari full tak berhenti bekerja. Dalam sakit stroke yang membuatnya tak berdaya, sepertinya Tuhan
memberi kesempatan padaku sebagai anak untuk lebih banyak waktu mengabdi pada
orang tua. Hal-hal kecil yang dulunya aku pikir tidak mungkin aku lakukan untuk
papa karena dia terlalu mandiri, ternyata aku punya kesempatan itu. Menyuapi
saat dia makan, menggunting kuku, mencukur kumis, hingga hal lainnya yang
semuanya aku syukuri karena aku bisa melakukannya untuk papa. Aku teringat akan
doaku dulu saat papa masih sehat dan sibuknya luar biasa. Kapan papa akan
pensiun, mengingat dia bukan PNS yang waktu pensiunnya sudah jelas. Mungkin
sakit papa ini adalah jawaban doaku. Saatnya dia pensiun dan merasakan pengabdian anaknya di masa tuanya.
Dulu sebelum papa sakit, aku sering mengajaknya untuk bepergian untuk sekedar refreshing, tapi papa termasuk orang
yang susah sekali diajak rekreasi. Dia lebih berpikir untuk kerja, kerja dan
kerja, yah walaupun aku tahu itu dia jalani demi aku. Pesanku untuk para orang
tua dan anak-anak. Sesibuk apapun kalian, berusahalah luangkan waktu untuk
orangtuamu atau anakmu, karena ketika sudah dalam kondisi sakit, bukannya tidak
bisa jalan-jalan bersama, tapi aku yakin sekecil apapun itu akan ada penyesalan
dalam hatimu, "Coba dulu jalan-jalan ketika kondisi sehat pasti akan lebih menyenangkan."
Sudah hampir 2 tahun papa sakit.
Kalau bukan karena Tuhan, mungkin aku tidak bisa menulis artikel ini, mungkin
aku sudah gila bahkan mungkin mati bunuh diri. Dalam keadaan sepertinya aku
sendiri, tak kuat lagi, kasih Tuhan dan penyertaannya yang sejak dahulu selalu aku renungkan dan itu menjadi kekuatan dalam hidupku.
Tulisan ini adalah kontribusi dari visitor Jawaban.com, Anda juga dapat berbagi dan menjadi berkat dengan berbagi kisah inspiratif, kesaksian, renungan, pendapat Anda tentang isu sosial atau berita yang terjadi di lingkungan dan gereja Anda dengan menguploadnya langsung melalui fitur Berani Bercerita di Jawaban.com, info lebih jelas KLIK DISINI.