“Kekerasan dalam
keluarga itu dari data kami banyak terjadi di keluarga kurang mampu. Karena
mereka tidak punya biaya untuk anak-anak mereka, istri juga terlalu tergantung
pada suami, sedangkan suami penghasilannya kecil, akhirnya banyak bentrok, jadi
korbannya anak-anak. Anak-anak tidak sekolah, ada yang kemudian jadi pelaku
(KDRT),” terang Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise.
Pernyataaan
tersebut dilontarkan Menteri Yohana setelah menganalisis data dari hasil riset
yang dikumpulkan dari berbagai pihak, mulai dari kumpulan data dari pihak kepolisian,
lembaga pemasyarakat (LP) dan latar belakang keluarga. Di antara beragam kasus rumah
tangga yang terjadi, terdapat dua kasus utama yang terus berulang dan mengancam
keselamatan kaum perempuan dan anak-anak yaitu kekerasan fisik dan seksual serta
human trafficking (perdagangan manusia, red).
Untuk
mengatasi persoalan ini, kementeriannya telah melakukan sejumlah upaya, seperti
pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) Rehabilitasi Sosial, PP Hukum Kebiri dan PP Pemasangan Chip di Tubuh Pelaku Kekerasan Seksual.
Penerapan
UU ini diakui telah banyak menekan tingkat kekerasan kepada perempuan. Jika kasus
kekerasan meningkat tajam pada tahun 2014-2015, diwarnai dengan mencuatnya kasus
pembunuhan dua bocah bernama Angeline dan Yuyun. Saat itu pemerintah akhirnya menetapkan
kasus kekerasan sebagai kondisi darurat. Namun setelah munculnya Perppu nomor. 1 2016 dari Perlindungan Anak, kasus kekerasan perlahan-lahan menyurut.
Kendati begitu,
Menteri Yohana tetap meyakini KDRT dan kekerasan seksual dan fisik ini bagaikan
fenomena gunung es, terus berulang dan terselubung. “Kekerasan pada perempuan
dan anak di Indonesia masih tinggi, seperti gunung es. Ada yang melapor yang itu yang tercatat,” ucapnya.
Kasus KDRT
dan kekerasan seksual pada anak tentu saja menjadi perhatian penting bagi keluarga-keluarga
Indonesia. Membenarkan ucapan Menteri Yohana, bahwa tingkat ekonomi sebuah keluarga
menjadi satu faktor penyebab KDRT dalam rumah tangga. Namun bukan tidak mungkin
jika perilaku buruk yang banyak dilakukan suami kepada istri atau laki-laki kepada
perempuan ini bisa dihentikan. Salah satunya adalah dengan memahami betul tentang apa itu pernikahan dan untuk apa sebuah keluarga dibangun.
Keluarga seharusnya
menjadi tempat dimana relasi terbangun dengan baik. Terbangun kualitas hubungan
suami istri yang baik, dimana istri tunduk kepada suami seperti kepada Tuhan dan
suami harus mencintai istri sama seperti Kristus mencintai umatnya ([kitab]Efesu5:22-23[/kitab]). Dalam Kristen, kekerasan bukanlah gaya hidup dan pilihan menyelesaikan masalah.
Setiap bentuk dan ekspresi yang sekalipun bertujuan baik, bila dilakukan dengan jalan kekerasan dinilai melawan kehendak Tuhan.
Keluarga bukanlah
tempat untuk saling memuaskan keinginan amarah, dendam, dan rasa benci yang
melahirkan tindakan kekerasan. Namun keluarga harusnya menjadi tempat dimana ada
rasa saling mencintai satu sama lain, baik dari suami kepada istri atau orangtua dan anak ([kitab]Efesu5:22-38[/kitab]).
Untuk itu lembaga keagamaan juga berperan penting dalam memberikan bimbingan mendalam terkait pernikahan kepada calon pasangan yang hendak menikah, seperti dalam Kristen dikenal dengan konseling pra-nikah. Sehingga dari bimbingan ini, calon pasangan telah diingatkan bahwa kekerasan adalah tindakan yang tidak diinjinkan terjadi dalam kehidupan pernikahan.
Bagi Anda yang saat ini sedang mengalami konflik rumah
tangga; pertengkaran; pisah ranjang; pergumulan ekonomi dan sebagainya, Anda bisa
berbagi cerita melalui konseling center kami dengan mengklik bagian kotak di bawah artikel ini.