Kalangan Sendiri
-
Share:
Angkie Yudistia: “Limited But Definitely Limitless”
Theresia Karo Karo Official Writer
8971
Keterbatasan bukan menjadi halangan untuk meraih cita-cita. Angkie Yudistia berhasil membuktikan bahwa para penyandang disabilitas sama seperti kebanyakan orang. Mereka juga bisa mandiri dan berprestasi dan berhak untuk mengembangkan diri serta mewujudkan impiannya.
Awalnya, wanita kelahiran 5 Juni 1987 ini masih bisa mendengar secara normal. Namun sejak berusia 10 tahun, dirinya mengalami gangguan pendengaran (tuna rungu). Dan sejak saat itulah Angkie harus melawan kesulitannya sebagai penyandang disabilitas.
Kedua orang tuanya, Hadi Sanjoto dan Indiarty Kaharman sering ditugaskan ke luar kota. Ternate, Bengkulu, hingga Bogor pernah disinggahinya dan hal ini membuatnya terlatih untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Untuk urusan sekolah, Angkie berhasil menyelesaikan seluruh pendidikannya di jalur sekolah umum.
Namun dalam perjalanan menyelesaikan studi, dia mengaku bahwa hal ini cukup sulit, meskipun sudah menggunakan alat bantu dengar. Tidak putus asa, Angkie kemudian memilih untuk belajar lebih giat dengan bantuan guru privat dan berlatih memahami gerakan bibir lawan bicaranya.
Perjalanannya untuk mencapai mimpinya masih panjang, namun dilema kembali menghadangnya saat lulus SMA. Saat itu dokter menyarankannya untuk tidak melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Sebab stres akibat kuliah bisa semakin memperburuk kondisi pendengarannya.
Namun Angkie tetap pada pilihannya untuk melanjutkan studinya di London School of Public Relations, Jakarta. Setelah 3,5 tahun, dia berhasil meraih gelar sarjana di Jurusan periklanan dengan indeks prestasi memuaskan. Tidak lama, Angkie juga menyelesaikan program master di bidang komunikasi pemasaran di tempat yang sama
Perjalanan karirnya dimulai sejak Angkie masih berstatus mahasiswa. Pada tahun 2008, Angkie sempat mengikuti pemilihan Abang None Jakarta sebagai finalis dari wilayah Jakarta Barat. Dan di tahun berikutnya, dia terjun ke dunia sosial lewat Yayasan Tunarungu Sehjira. Inilah yang menjadi awal ketertarikannya terhadap dunia sosial.
Selain itu, Angkie juga pernah menjadi delegasi Indonesia dalam perhelatan Asia-Pacific Development Center of Disability di Bangkok, Thailand. Di sana dia mendengar beragam pandangan dan persepsi masyarakat atas kaum difabel yang dianggap tidak bisa melakukan apa-apa. Sehingga hal ini semakin menggungah hatinya. Karena dia sendiri pernah mengalami pengalaman yang tidak mengenakkan saat wawancara diterima bekerja.
Sebelum benar-benar memantapkan pilihannya di dunia sosial, Angkie sempat bekerja sebagai staf humas di beberapa perusahaan. Namun jiwa sosialnya ternyata lebih dominan. Sehingga dirinya memutuskan untuk keluar dari pekerjaan dan melibatkan diri dalam dunia sosial, terutama yang berhubungan dengan orang-orang disabilitas.
Kini, wanita mandiri ini telah menjadi inspirasi bagi banyak orang. Selain mendirikan perusahaan Thisable Enterprise, Angkie juga mengeluarkan dua buku yang memotivasi banyak orang. Kedua bukunya adalah Perempuan Tuna Rungu Tanpa Batas dan Setinggi Langit. Thisable Enterprise sendiri bergerak dalam penyaluran program corporate social responsibility (CSR) kepada perusahaan-perusahaan, terkait dengan kaum difabel.
Memegang teguh prinsip “Limited but definitely limitless”, Angkie telah meraih berbagai prestasi yang patut dibanggakan. Beberapa diantaranya, finalis Abang None 2008 Jakarta Barat, The Most Fearless Female Cosmopolitan 2008, Miss Congeniality, Kartini Next Generation 2013, The Most Powerful Woman of 2012 dari Her World, dan beragam penghargaan lainnya.
Lepas dari diskriminasi dan rasa minder, Angkie berhasil membuktikan bahwa kaum difabel mampu meraih keberhasilan. Keterbatasannya bukan alasan untuk menjadikan hidupnya terbatas.
Anda diberkati dengan artikel ini, yuk share artikel ini di Facebook-mu dan ajak teman-temanmu untuk re-share link artikelnya. Semakin banyak yang re-share, semakin keren hadiahnya. Keterangan lebih lanjut, KLIK DI SINI.
Sumber : Maxmanroe/Jawaban.com by tk
Awalnya, wanita kelahiran 5 Juni 1987 ini masih bisa mendengar secara normal. Namun sejak berusia 10 tahun, dirinya mengalami gangguan pendengaran (tuna rungu). Dan sejak saat itulah Angkie harus melawan kesulitannya sebagai penyandang disabilitas.
Kedua orang tuanya, Hadi Sanjoto dan Indiarty Kaharman sering ditugaskan ke luar kota. Ternate, Bengkulu, hingga Bogor pernah disinggahinya dan hal ini membuatnya terlatih untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Untuk urusan sekolah, Angkie berhasil menyelesaikan seluruh pendidikannya di jalur sekolah umum.
Namun dalam perjalanan menyelesaikan studi, dia mengaku bahwa hal ini cukup sulit, meskipun sudah menggunakan alat bantu dengar. Tidak putus asa, Angkie kemudian memilih untuk belajar lebih giat dengan bantuan guru privat dan berlatih memahami gerakan bibir lawan bicaranya.
Perjalanannya untuk mencapai mimpinya masih panjang, namun dilema kembali menghadangnya saat lulus SMA. Saat itu dokter menyarankannya untuk tidak melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Sebab stres akibat kuliah bisa semakin memperburuk kondisi pendengarannya.
Namun Angkie tetap pada pilihannya untuk melanjutkan studinya di London School of Public Relations, Jakarta. Setelah 3,5 tahun, dia berhasil meraih gelar sarjana di Jurusan periklanan dengan indeks prestasi memuaskan. Tidak lama, Angkie juga menyelesaikan program master di bidang komunikasi pemasaran di tempat yang sama
Perjalanan karirnya dimulai sejak Angkie masih berstatus mahasiswa. Pada tahun 2008, Angkie sempat mengikuti pemilihan Abang None Jakarta sebagai finalis dari wilayah Jakarta Barat. Dan di tahun berikutnya, dia terjun ke dunia sosial lewat Yayasan Tunarungu Sehjira. Inilah yang menjadi awal ketertarikannya terhadap dunia sosial.
Selain itu, Angkie juga pernah menjadi delegasi Indonesia dalam perhelatan Asia-Pacific Development Center of Disability di Bangkok, Thailand. Di sana dia mendengar beragam pandangan dan persepsi masyarakat atas kaum difabel yang dianggap tidak bisa melakukan apa-apa. Sehingga hal ini semakin menggungah hatinya. Karena dia sendiri pernah mengalami pengalaman yang tidak mengenakkan saat wawancara diterima bekerja.
Sebelum benar-benar memantapkan pilihannya di dunia sosial, Angkie sempat bekerja sebagai staf humas di beberapa perusahaan. Namun jiwa sosialnya ternyata lebih dominan. Sehingga dirinya memutuskan untuk keluar dari pekerjaan dan melibatkan diri dalam dunia sosial, terutama yang berhubungan dengan orang-orang disabilitas.
Kini, wanita mandiri ini telah menjadi inspirasi bagi banyak orang. Selain mendirikan perusahaan Thisable Enterprise, Angkie juga mengeluarkan dua buku yang memotivasi banyak orang. Kedua bukunya adalah Perempuan Tuna Rungu Tanpa Batas dan Setinggi Langit. Thisable Enterprise sendiri bergerak dalam penyaluran program corporate social responsibility (CSR) kepada perusahaan-perusahaan, terkait dengan kaum difabel.
Memegang teguh prinsip “Limited but definitely limitless”, Angkie telah meraih berbagai prestasi yang patut dibanggakan. Beberapa diantaranya, finalis Abang None 2008 Jakarta Barat, The Most Fearless Female Cosmopolitan 2008, Miss Congeniality, Kartini Next Generation 2013, The Most Powerful Woman of 2012 dari Her World, dan beragam penghargaan lainnya.
Lepas dari diskriminasi dan rasa minder, Angkie berhasil membuktikan bahwa kaum difabel mampu meraih keberhasilan. Keterbatasannya bukan alasan untuk menjadikan hidupnya terbatas.
Anda diberkati dengan artikel ini, yuk share artikel ini di Facebook-mu dan ajak teman-temanmu untuk re-share link artikelnya. Semakin banyak yang re-share, semakin keren hadiahnya. Keterangan lebih lanjut, KLIK DI SINI.
Halaman :
1
Hot Topics
Related Articles
