Dendam Membara dalam Diri Anak-Anak DI Panjaitan

Family / 6 January 2012

Kalangan Sendiri

Dendam Membara dalam Diri Anak-Anak DI Panjaitan

Lois Official Writer
131981

Riri Panjaitan adalah salah satu putri dari Mayjen D. I. Panjaitan. Dia menyaksikan sendiri bagaimana papanya, orang yang dia kasihi dan orang yang dia cintai dibunuh secara sadis seperti binatang di depan matanya sendiri dalam peristiwa G 30 S. “Malam 30 September, subuh 1 Oktober kami mendengar suara truk-truk berhenti dan orang-orang mengepung rumah kami.” kata Catherine Panjaitan, yang merupakan kakak Riri. “Tanpa ada peringatan, mereka menembak dari segala penjuru, seperti hujan peluru,” lanjut Riri mengingat malam itu. Tentu saja, mereka ketakutan luar biasa saat itu.

Tentara-tentara tersebut bahkan masuk sampai ke rumah. Mayjen Panjaitan sekeluarga yang saat itu berkumpul di lantai atas, mendengar teriakan tentara yang meminta Mayjen Panjaitan untuk turun. “Ayah saya keluar dari kamar, memakai baju lengkap, uniformnya sebagai angkatan darat, keluar dari kamarnya dan memandang kami semua. Tidak saya lihat itu wajahnya takut.” kenang Riri ketika itu.

Ayahnya pun turun dan keluar pintu. Ayahnya juga menyatakan bahwa dia akan ikut tapi dia mau berdoa terlebih dahulu. Maka, di luar pintu rumah itu, dalam posisi berdiri dan berdoa melipat tangan, Mayjen DI Panjaitan pun memanjatkan kata-katanya kepada Tuhan. Saat berdoa itulah, tiba-tiba ada tentara yang memukul kepalanya dengan memakai laras senapan yang panjang dan setelah itu dia ditembak.

Saat itu, darahnya menetes dan mengotori lantai luar rumah. Dia diseret dan dilempar keluar gerbang. “Ayah saya sudah dibawa pergi…Saya turun ke bawah dan mengejar mereka yang melempar ayah saya di depan gerbang dan saya kemudian ke tempat kejadian dia ditembak dan hanya melihat darah dan gumpalan-gumpalan putih yang saya rasa otaknya,” cerita Catherine yang juga melihat kejadian itu dari lantai atas rumah. Darah papanya, dia raup ke dadanya dan sambil menyesal dalam hati bahwa dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk menolong papanya.

Anak-anak Mayjen Panjaitan yang lain, semuanya kemudian ikut turun. “Untuk anak berumur 8 tahun (usia Riri waktu itu), apa pegangannya dengan melihat seperti itu? Tapi saya sudah dihadapkan pada apa yang tidak saya mau, tidak mau saya rasakan untuk merasakan orang yang kita kasihi seperti binatang dibunuh.” cerita Riri.

Setelah peristiwa mengerikan itu, Chaterine pun mencoba bunuh diri. Pada tanggal 2 Oktober, pemerintah berhasil menumpas Gerakan 30 September. Namun bagi Riri dan keluarganya, peristiwa itu tetap meninggalkan luka dan trauma yang sangat mendalam. “Apalagi ketika ayah saya ditemukan di Lubang Buaya dengan Jendral Ahmad Yani, Jendral S. Parman, Jendral Soeprapto, Jendral Haryono…Saya sangat terkejut sekali apalagi ketika lihat foto-fotonya.”

Mereka pun pergi ke RSPAD tempat mayat-mayat Jendral itu disemayamkan. Mereka di sana pun tidak boleh melihat mayat tersebut. Yang dilakukan Catherine di sana hanyalah berteriak-teriak. Dari sana, mereka berangkat ke Taman Kalibata. Indonesia berduka karena kehilangan putra bangsa tersebut. Tangis berlangsung dari seluruh Indonesia atas kehilangan tokoh-tokoh besar ini. “Kami hanya melihat petinya saja, kita tidak bisa atau memegang lagi. Karena ayah kami dengan tujuh jendral itu bukan milik kami lagi..”

Peristiwa yang tragis itu meninggalkan luka yang dalam hati Riri dan keluarganya. “Ada orang yang membunuh ayah saya, tapi kita tidak tahu wajahnya. Jadi kita benci, dendam dan marah tapi kita tidak tahu harus ekspresikan itu semua sehingga hal itu benar-benar biadab.” Kata Riri.

Luka itu tetap ada di dalam hatinya, luka itu menyertainya kemanapun dia pergi, tetap nyata di depan matanya. Riri tumbuh besar dengan potret itu. Dia tumbuh dengan rasa benci dan marah. Dan jika ada sedikit tekanan, dia akan berteriak dan bisa mengamuk. Begitu banyak masalah yang tidak bisa dia selesaikan, tidak ada orang yang Bantu, dan semua orang mengalami hal yang sama.

Riri kemudian melanjutkan studinya ke Jerman. Namun, dia tetap merasakan tekanan masa lalu itu. Dia tetap merasa buntu dan tidak mendapatkan jawaban atas masa lalunya itu, dia pun mencoba bunuh diri. Dengan mengiris denyut nadinya, Riri pernah mencobanya. Namun ajaibnya, nadinya tidak bisa terpotong.

Dan tentunya tidak ada yang kebetulan ketika Riri kemudian bertemu dengan teman satu negara yaitu teman dari Indonesia yang sama-sama mau pulang ke Indonesia. Dia pun menceritakan tentang isi Alkitab dan tentang Yesus yang menjadi Juru Selamat. Rasa damai mengalir dalam hati Riri ketika dia diceritakan seperti itu. Rasa damai itu pun membawanya untuk mencari dengan membaca Alkitab lebih lagi. “Waktu saya membaca Alkitab itu, saya merasa ada harapan saja tapi saya tidak merasa berjumpa dengan Yesus waktu itu. Waktu saya baca Yesus menyembuhkan orang sakit, Yesus bangkitkan orang mati, saya tidak mengerti. Waktu saya diceritain tentang manusia saja saya tidak bisa, apalagi Tuhan yang tidak saya lihat…” cerita Riri.

Riri berharap dia bisa bertanya mengapa dia dilahirkan seperti itu, mengapa orang yang dia cintai diambil begitu rupa. Saat itu, dia merasa kematian pun tidak dapat menyelesaikan masalahnya. Dan sosok Yesus terus membuatnya ingin mencari tahu lebih lagi. Dia terus membaca Alkitab itu dan di sana dia temukan figur yang bahkan lebih baik dari ayahnya. Dia mulai merasa tokoh yang luar biasa. Lalu, apakah sosok Yesus dapat menyembuhkan luka hatinya?

Dia kemudian membaca bahwa ketika kita ditampar pipi kiri, berikan pipi kanan. Saat itu dia tidak bisa terima. Dia kemudian berdoa dan di situlah Tuhan datang kepadanya dengan sinar yang terang dan berkata, “Engkau harus melepaskan pengampunan..” Sebenarnya Riri mau melepaskan pengampunan, tapi dia tetap tidak bisa. Perasaan itu masih di hatinya.

Tuhan kemudian seolah-olah memasang video tentang G 30 S itu di depan mata Riri, mau tak mau Riri pun menonton tayangan yang dikasih Tuhan itu. Lalu kembali ada kata-kata, “Jika engkau tidak bisa mengampuni orang-orang tersebut, maka engkau tidak layak diampuni.” Tetap Riri bilang bahwa dia mau tapi tidak bisa. Seolah-olah setelah itu, hatinya diambil dan diberikan hati yang baru. “Sejak Dia tanam hati itu, Tuhan bertanya kepada saya, ‘Apakah engkau mau mengampuni pembunuh papamu?’ Saya jawab, ‘Saya mau, saya mau melepaskan pengampunan di dalam nama Yesus untuk pembunuh-pembunuh papa saya…’”

Hati Riri sudah baru. Hati yang lama yang penuh dengan kepahitan, kebencian, marah, dan dendam hilang dan digantikan dengan hati yang baru. Sejak pembaruan hati itu, Riri tidak lagi membenci mereka. Kasih memenuhi hatinya dan dia melepaskan pengampunan. Setelah 46 tahun berlalu, kasih nyata itu ada dalam kehidupan keluarga Riri. “Saya sudah puas sekarang. Papa saya itu pergi dengan menyerahkan tubuh, jiwa, rohnya ke dalam tangan Tuhan. Dia sudah selamat sekarang.” Sahut Catherine.

Sekalipun memori mereka masih mengingat tentang peristiwa tragis itu, namun mereka tahu peristiwa itu harus terjadi karena Tuhan mempunyai suatu rencana yang indah buat mereka semua. Dan Tuhan pun punya rencana yang indah buat kita semua.

 

Sumber Kesaksian :

Riri Panjaitan

Sumber : V120104153057
Halaman :
1

Ikuti Kami