Sayang, kamu ingin apa?

Marriage / 8 August 2007

Kalangan Sendiri

Sayang, kamu ingin apa?

prisca Official Writer
12062
Dua orang yang baik, tapi mengapa perkawinan tidak berakhir bahagia

Ibu saya adalah seorang yang sangat baik. Sejak kecil saya melihatnya begitu gigih menjaga keutuhan keluarga. Ia selalu bangun dini hari dan memasak bubur yang panas untuk ayah karena lambung ayah yang tidak baik, sehingga pagi hari hanya bisa makan bubur. Setelah itu, ia masih harus memasak sepanci nasi untuk kami anak-anaknya karena kami sedang dalam masa pertumbuhan dan perlu makan nasi. Dengan begitu kami tidak akan lapar seharian di sekolah. Setiap sore ibu selalu membungkukkan badannya menyikat panci. Setiap panci di rumah kami bisa dijadikan cermin, tidak ada noda sedikitpun.

Menjelang malam dengan giat ibu membersihkan lantai, mengepel seinci demi seinci sehingga lantai di rumah tampak lebih bersih dibandingkan sisi tempat tidur orang lain. Tiada debu sedikitpun meski kami berjalan dengan kaki telanjang. Ibu saya adalah seorang wanita yang sangat rajin. Namun di mata ayahku, ia (ibu) bukanlah pasangan yang baik.

Dalam proses pertumbuhan saya, tidak hanya sekali, ayah selalu menyatakan kesepiannya dalam perkawinan dan tidak memahami ibu. Ayah saya adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, serius dalam pekerjaan, setiap hari berangkat kerja tepat waktu, bahkan saat liburpun masih mengatur jadwal sekolah anak-anak dan mengatur waktu istirahat anak-anak. Ia adalah seorang ayah yang penuh tanggung jawab, selalu mendorong kami anak-anaknya untuk berprestasi dalam pelajaran. Ia suka main catur, membuat kaligrafi dan suka larut dalam dunia buku-buku kuno. Ayah saya adalah seorang laki-laki yang baik. Di mata kami anak-anaknya, ia maha besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami. Hanya saja di mata ibuku, ia juga bukan seorang pasangan yang baik.

Dalam proses pertumbuhan saya, kerap kali saya melihat ibu menangis terisak secara diam-diam di sudut halaman. Ayah menyatakannya dengan kata-kata, sedangkan ibu dengan aksi untuk menyatakan kepedihan yang mereka jalani di dalam perkawinan. Dalam proses pertumbuhan, aku melihat juga mendengar ketidakberdayaan dalam perkawinan ayah dan ibu sekaligus merasakan betapa baiknya mereka, dan mereka layak mendapatkan sebuah perkawinan yang baik. Sayangnya, dalam masa-masa keberadaan ayah di dunia, kehidupan perkawinan mereka lalui dalam kegagalan. Sedangkan aku juga tumbuh dalam kebingungan, dan aku bertanya pada diriku sendiri: Dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang  bahagia?

Pengorbanan yang dianggap benar  

Setelah dewasa saya akhirnya memasuki usia perkawinan. Dan secara perlahan-lahan saya pun mengetahui akan jawaban ini.  Di masa awal perkawinan, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan keluarga. Menyikat panci dan membersihkan lantai, dengan sungguh-sungguh berusaha memelihara perkawinan sendiri. Anehnya, saya tidak merasa bahagia dan suamiku sendiri sepertinya juga tidak bahagia. Saya merenung, mungkin lantai kurang bersih atau masakan yang tidak enak. Lalu dengan giat saya membersihkan lantai lagi, dan memasak dengan sepenuh hati.

Namun rasanya, kami berdua tetap saja tidak bahagia. Hingga suatu hari ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai, suami saya berkata, "Istriku, temani aku sejenak mendengarkan alunan musik!" Dengan mimik tidak senang saya berkata, "Apa kamu tidak melihat masih ada separuh lantai lagi yang belum dipel?"  Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung. Kata-kata ini sangat tidak asing di telinga saya. Dalam perkawinan ayah dan ibu saya, ibu juga kerap berkata seperti itu kepada ayah. Saya sedang mempertunjukkan kembali perkawinan ayah dan ibu, sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkawinan mereka. Ada beberapa kesadaran muncul dalam hati saya. "Apa yang kamu inginkan?" Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku dan teringat akan ayah saya. Ia tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan dalam perkawinannya sewaktu ibu menyikat panci lebih lama daripada menemaninya. Terus- menerus mengerjakan urusan rumah tangga adalah cara ibu dalam mempertahankan perkawinan.  Ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih, namun jarang menemaninya. Ia sibuk mengurus rumah. Ia berusaha mencintai ayah dengan caranya, dan cara ini adalah mengerjakan urusan rumah tangga. Dan saya juga menggunakan caraku, berusaha mencintai suamiku, dengan cara yang sama seperti ibu. 

Perkawinan saya sepertinya tengah melangkah ke dalam sebuah cerita 'Dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia?' Kesadaran saya membuat saya mengambil keputusan (pilihan) yang sama. Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami menemaninya mendengarkan musik. Dan dari kejauhan saat memandangi kain pel di atas lantai, saya seperti menatapi nasib ibu.

Saya bertanya pada suamiku, "Apa yang kamu butuhkan?", "Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengarkan musik. Rumah kotor sedikit tidak apa-apalah. Nanti saya carikan pembantu untukmu. Dengan begitu kau bisa menemaniku!" ujar suamiku.  "Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu, ada yang mencuci pakaianmu...." dan saya mengatakan sekaligus serentetan hal-hal yang dibutuhkannya. "Semua itu tidak penting!" ujar suamiku. "Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku.

Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan. Hal ini membuat saya benar-benar terkejut. Kami meneruskan menikmati kebutuhan kami masing-masing, dan baru saya sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia. Kami memiliki cara masing-masing bagaimana saling mencintai, namun bukannya cara pasangan kami.

Jalan kebahagiaan

Semenjak saat itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami dan meletakkannya di atas meja buku. Begitu juga dengan suamiku, dia menderetkan sebuah daftar kebutuhanku. Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti misalnya waktu senggang menemani pasangan mendengarkan musik, saling memeluk kalau sempat, setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat dan lain-lain.  

Beberapa hal cukup mudah untuk dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup sulit. Misalnya: 'Dengarkan aku, jangan memberi komentar'. Ini adalah kebutuhan suami. Kalau saya memberinya usul, dia bilang saya akan membuat dirinya tampak seperti orang bodoh. Menurutku ini benar-benar masalah gengsi laki-laki. Tapi saya mentaati suami untuk tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya pada saya. Kalau tidak saya hanya boleh mendengarkan dengan serius, menurut sampai tuntas. Demikian juga ketika salah jalan. Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun jauh lebih santai daripada mengepel. Dan dalam kepuasan kebutuhan kami ini, perkawinan yang kami jalani juga kian hari semakin penuh daya hidup.

Saat saya lelah, saya memilih beberapa hal yang gampang dikerjakan. Misalnya menyetel musik ringan. Dan kalau lagi segar bugar, saya merancang perjalanan ke luar kota. Menariknya, pergi ke taman flora adalah hal yang merupakan kebutuhan kami bersama. Setiap kali ada pertikaian, kami selalu pergi ke taman flora. Dan aktivitas itu selalu bisa meredakan gejolak hati masing-masing. Sebenarnya kami saling mengenal dan mencintai juga dikarenakan kesukaan kami pada taman flora, lalu bersama kami menapak ke tirai merah perkawinan. Kembali ke taman bisa mengembalikan suasana hati yang saling mencintai bertahun-tahun silam.

Bertanyalah pada pasangan, 'Apa yang kau inginkan'. Kata-kata ini telah menghidupkan sebuah jalan kebahagiaan lain dalam perkawinan. Keduanya akhirnya melangkah ke jalan bahagia. Kini saya tahu kenapa perkawinan ayah ibu tidak bisa bahagia. Mereka terlalu bersikeras menggunakan cara sendiri dalam mencintai pasangannya, bukan mencintai pasangannya seperti keinginan pasangannya sendiri. Diri sendiri lelahnya setengah mati, namun pasangan tidak dapat merasakannya. Akhirnya ketika menghadapi penantian perkawinan, hati ini juga sudah kecewa dan hancur.

Karena Tuhan telah menciptakan perkawinan, maka menurut saya setiap orang pantas dan layak memiliki sebuah perkawinan yang bahagia asalkan cara yang kita pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan pasangannya! Bukannya memberi atas keinginan kita sendiri. Perkawinan yang baik pasti dapat kita harapkan.

Sumber : Erabaru (Sumber Secret China)
Halaman :
1

Ikuti Kami