The Photograph : Drama Cinta Yang Sangat Humanis

Film Review / 23 July 2007

Kalangan Sendiri

The Photograph : Drama Cinta Yang Sangat Humanis

yosefel Official Writer
4384

Cinta bisa mekar di mana saja. Termasuk tumbuh di antara perempuan Jawa, Sita (25 tahun) dan Johan (50 tahun), pria keturunan Tionghoa. Si perempuan berprofesi sebagai penyanyi bar yang merangkap pelacur, sementara laki-laki gaek itu seorang juru foto keliling yang jarang bicara dan sibuk dengan pergulatan batinnya sendiri.

Ini jelas bukan drama cinta penuh air mata dan kesedihan yang berlarut-larut. Melainkan cinta yang tumbuh secara alami karena situasi yang saling membutuhkan. Di dalam kondisi seperti ini cinta kemudian melampaui batas-batas latar belakang sosial, identitas kultural, kepercayaan, ras dan sejenisnya yang telah membelah-belah manusia dalam kelompok-kelompok yang kerap menjadi penyebab pertikaian tak sudah-sudah. Sebuah penjelasan tentang penerimaan apa adanya yang sangat gamblang.

Dibuka dengan adegan Johan (Lim Kay Tong) menatap foto-foto tua yang berderet di dinding rumahnya yang merangkap sebagai studio foto, "The Photograph" membawa penonton pada gambar-gambar kehidupan yang demikian kental dengan aroma humanisme, kasih sayang, cinta kasih antar manusia dan juga tentang integritas, kesungguhan yang kukuh terhadap kehidupan.

Setelah Sita (Shanty) tidak mampu membayar sewa kamarnya, Johan mengijinkan perempuan muda itu tetap tinggal di sana dan membantu pekerjaannya menjadi juru foto keliling. Oleh karena interaksi yang terus menerus plus situasi yang saling membutuhkan di antara keduanya tumbuh rasa saling kasih sayang. Shanty dan Lim Kay Tong secara mulus berhasil memainkan ekspresi baik melalui bahasa tubuh, raut muka, maupun sekadar gumam, dan desah.

Interkasi antara Johan dengan Sita meski tidak melibatkan banyak dialog namun telah mampu menggugah emosi demikian rupa. Nan T Achnas piawai menggunakan bahasa gambar secara efektif dan dramatik. Plot yang mengalir pelan tapi ritmis, ditambah penata sinematografi yang puitis dan membius serta iringan musik yang minimal namun optimal menjadikan "The Photograph" sebagai tontonan yang kontemplatif namun tetap menghibur dengan selipan humor segar sekaligus getir.

Mata kamera Nan tidak hanya tajam merekam detil-detil gambar, tapi juga mampu menyodorkan suasana batin yang kuat dan menghanyutkan. Adegan Sita menelpon anaknya di kampung, kemudian kehadiran karakter Suroso (Lukman Sardi) seorang germo, Mbak Rosi (Indi Barends) sepupu Sita, makin memperkuat unsur kultural dan efek dramatik film ini. Kita juga melihat perkembangan karakter Sita dan Johan yang terjaga dengan baik dari awal sampai menit terakhir.

Kisah tentang Kasih Tanpa Syarat dapat kita tangkap jelas di film ini. dan tema sentral inilah yang menjadi kekuatan film ini yang menyampaikan sebuah pesan moral yang positif tentang arti cinta sesungguhnya.

JIka sudah membicarakan nilai lebih film ini, kini saatnya membicarakan kelemahannya. Film ini kurang menampilkan cerita yang kuat. Keinginan Johan mencari calon penggantinya jadi juru foto keliling terasa mengada-ada. Adegan kehadiran sekelompok orang yang hendak melamar jadi juru foto lengkap dengan dialog-dialog mereka saat ‘interview' terkesan sangat pretensius dan sekadar untuk menghadirkan kelucuan. Memang adegan ini tidak terlampau mengganggu keseluruhan film yang layak diapresiasi ini.

Halaman :
1

Ikuti Kami