4 Alasan PGI Tolak Nikah Beda Agama
Sumber: GPDI Lippo Cikarang

Internasional / 15 September 2014

Kalangan Sendiri

4 Alasan PGI Tolak Nikah Beda Agama

Lori Official Writer
7857

Perdebatan pelegalan nikah beda agama yang diajukan oleh mahasiswa dan para alumni Fakultas Hukum Universiats Indonesia (UI), kini semakin meruncing dan melibatkan lembaga-lembaga keagamaan termasuk PGI. Ketua Umum PGI Pdt. Dr. A.A.Yewangoe menyatakan bahwa gereja sebisa mungkin menghindari pemberkatan beda agama karena dinilai akan sulit diterima secara hukum dan konsep kekristenan.

"Pernikahan beda agama tidak mudah dilakukan di negara ini. Persoalannya terletak pada legalitas hukum agama yang mengesahkan perkawinan. Kalau hukum agama mengharamkan nikah campur (berbeda agama, suku, ras dan kebangsaan), maka akan sulit melangsungkan perkawinan beda agama," ujar Yewangoe, seperti dilansir dari laman resmi Pgi.or.id.

Dalam penuturannya, Yewangeo mempunyai beberapa alasan bahwa  gereja menolak pernikahan beda agama, seperti:

Larangan nikah beda agama sudah ada sejak zaman Ezra dan Nehemia

Yewangoe menuturkan, bahwa larangan nikah beda agama juga berlaku sejak zaman Ezra dan Nehemia. Mereka mengharamkan umat Israel menikah dengan kaum diluar Israel. Dari sejarah ini pula gereja menetapkan aturan agar sedapat mungkin menghindari pemberkatan pasangan beda agama. "Meskipun begitu tidak semua gereja bertindak semikian, tetapi ada juga gereja yang melakukan pemberkatan nikah beda agama," tuturnya.

Pernikahan sah bila memenuhi syarat hukum dan pemuka agama

Salah satu kontroversi pernikahan beda agama tertulis dalam Undang-Undang pasal 2 ayat 1 berbunyi "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamnya dan kepercayaan itu". Hal ini berarti bahwa legalitas sah atai tidaknya ssuatu perkawinan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan masing-masing dari kedua calon pengantin.

Pernikahan adalah orde penciptaan

Di dalam Kekristenan, gereja memandang bahwa pernikahan adalah orde penciptaan. Dalam hal ini, penciptaan erat kaitannya dengan hubungan/relasi antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya serta relasi antara sesamanya. Dalam prostestan, pemberkatan pernikahan dipandang sebagai akta sosial sedang sakramen (dalam Katolik) dianggap sebagai akta agama. "Istilah pemberkatan pernikahan lebih cenderung pada akta sosial ketimbang akta agama".

Selain itu, gereja juga memegang teguh pemahaman bahwa pernikahan dianggap sebagai ordo penciptaan karena lewat pernikahanlah generasi baru akan dihasilkan dan relasi sosial terjalin dengan baik.

Pernikahan beda agama akan mempersulit anak

Meski pasangan beda agama menyepakati tetap menganut keyakinan masing-masing, namun bukan berarti tak akan mendapat permasalahan di kemudian hari. Pernikahan beda agama biasanya akan terbentur pada kehendak anak untuk bebas memilih agama tanpa unsur paksaan dari salah satu pihak. "Nikah beda agama harus mempertimbangkan pelayanan pastoral gereja," kata Yewangoe.

Menyikapi maraknya kasus pernikahan beda agama serta polemik UU yang telah ditetapkan, PGI bersama majelis agama lainnya seperti MUI, KWI, MATAKIN, WALUBI dan PHDI menyepakati bahwa perkawinan harus dilakukan sesuai ajaran agama masing-masing. Dalam artian bahwa pernikahan yang telah disahkan oleh agama wajib dicatat oleh negara.

Dengan kesepakatan bersama ini, diharapkan agar pasangan beda agama tidak nekat melanggar aturan yang ebrlaku secara hukum dan agama. Sebab hanya akan mengundang persoalan yang lebih besar ke depan, bahwa setelah menikah salah satu dari mereka bisa saja tidak menjalankan agama yang dikompromikan tersebut. Hal inilah yang mendasarkan firman Tuhan dalam 2 Korintus 6: 4 yang mengingatkan agar kita tetap memilih pasangan yang sepadan dan seiman.

Sumber : Pgi.or.id/jawaban.com/ls
Halaman :
1

Ikuti Kami