Sanggar Alang-Alang, Peteduhan Bagi Anak Jalanan

Entrepreneurship / 19 July 2010

Kalangan Sendiri

Sanggar Alang-Alang, Peteduhan Bagi Anak Jalanan

Lestari99 Official Writer
7053

“Rumah” dan “kasih sayang”, adalah dua kata yang menjadi kebutuhan utama anak-anak jalanan dan mereka yang terbuang. Didit Hari Purnomo (52) membuat dua kata itu menjadi kenyataan bagi mereka dengan mendirikan Sanggar Alang-Alang (SAA), tempat ratusan anak jalanan di kota Surabaya belajar tentang kehidupan.

SAA yang didirikan pada 16 April 1999 ini menyediakan pendidikan gratis bagi anak-anak jalanan. Tak ada istilah anak jalanan di tempat ini, yang ada hanyalah sebutan “anak negeri”. Dengan berbekal pendidikan berbasis keluarga, SAA menjadi rumah tempat makanan, seragam, ruang belajar, dan ruang bermain cuma-cuma bagi mereka.

Kasih sayang memang menjadi kunci keberhasilan bagi Didit. Kasih sayang adalah pendidikan hidup yang terenggut dari kehidupan anak jalanan. Mereka seringkali dilupakan dan dianggap sampah masyarakat. Penilaian salah ini dibuktikan Didit 11 tahun lalu ketika ia menyambangi Terminal Joyoboyo, tempat anak jalanan berkumpul.

Di balik penampilan anak-anak yang kumuh dan kotor, tersimpan jiwa anak-anak yang mendambakan rumah dan perhatian. Jika didekati baik-baik, mereka akan membuka diri. Hati Didit tergugah melihat anak-anak yang menggelandang sejak kecil. Ada anak-anak dari tukang cuci, tukang becak, pencopet dan kernet bus yang tidak mendapatkan perhatian dari orangtuanya.

Di balik toilet Terminal Joyoboyo perjumpaan pertama Didit dengan anak jalanan mulai terajut. Setiap malam Didit mulai mengajarkan banyak hal kepada mereka sampai-sampai orang menamai mereka “komunitas sekolah malam”. Setelah setahun lebih kegiatan itu berjalan dengan bermodalkan niat baik dan sebagian gaji Didit, barulah di tahun 1999 berkat sumbangan dari orangtua murid Surabaya International School sebesar Rp 5 juta, uang itu Didit gunakan untuk mengontrak rumah selama dua tahun di belakang Terminal Joyoboyo.

Untuk menyokong kehidupan anak-anak, SAA awalnya bergantung pada donasi para pengusaha. Namun kini SAA telah memiliki pendapatan sendiri dengan mengisi acara musik dan tari di sekolah.

Di sanggar ini, Didik berfungsi sebagai bapak dan istrinya, Budha Ersa, sebagai mama. Sebanyak 187 anak usia 6-17 tahun menjadi bagian dari keluarga besar SAA. Sebagai penggati SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan), Didit hanya menuntut satu hal dari anak-anaknya, yaitu bersikap sopan.

Setiap kali anak-anak masuk sanggar, mereka harus berada dalam kondisi bersih. Mereka harus saling menyalami dan memeluk satu dengan yang lain serta menghindari kata-kata kasar dan jorok. Bagi Didit, peraturan ini merupakan bagian dari pendidikan perilaku. “Jika setiap hari selama sebelas tahun seorang anak jalanan bisa diajar berperilaku sopan, tentu perilakunya akan berubah,” ujar kakek satu orang cucu yang juga pensiunan pegawai TVRI ini.

Pendidikan perilaku hanya merupakan salah satu pelajaran yang diajarkan di SAA. Sanggar ini memang menitikberatkan pada ilmu-ilmu praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan anak jalanan. “Belajar bukan hanya teori, melainkan soal implementasi. Ini yang dibutuhkan anak jalanan agar tidak kembali ke jalan,” katanya.

Ada empat program pendidikan yang dijalankan di sanggar ini, yakni Bimbingan Belajar Anak Sekolah dan Putus Sekolah, Bimbingan Anak Berbakat, Bimbingan Anak Perempuan Rawan, serta Bimbingan Ibu dan Anak Negeri.

Keempat program ini difokuskan pada pengetahuan praktis. Misalnya, Bimbingan Anak Perempuan Rawan yang ditujukan untuk anak jalanan perempuan dan pekerja rumah tangga. Setiap tiga hari dalam seminggu, tim SAA menyambangi anak jalanan untuk mengajari mereka tentang kesehatan reproduksi, cara membela diri, dan cara melaporkan kepada polisi jika dilecehkan secara seksual.

Program Bimbingan Ibu dan Anak Negeri (BIAN) ditujukan untuk anak usia taman kanak-kanak dan ibunya. Sebagai penggati kursi, anak-anak duduk di pangkuan ibunya. Dengan demikian, bukan hanya anak yang belajar, ibu juga belajar untuk meluangkan waktu bagi anaknya.

Program ini lahir setelah Didit melihat kerasnya realita di lapangan. Kemiskinan dan kebodohan telah merenggangkan hubungan antara orangtua dan anak. Akibatnya, keluarga terpecah-belah dan anak-anak pun lari ke jalanan. Banyak anak yang dieksploitasi oleh orangtuanya untuk bekerja di jalanan. Melalui program ini, Didit megharapkan agar tidak ada lagi ibu yang menyuruh anaknya mencari uang di jalan.

Di luar kelas program pendidikan yang dijalankannya, anak-anak bisa berlatih alat musik, tari dan juga tinju. Mereka yang memiliki bakat akan diikutkan pada kejuaraan tingkat daerah, bahkan sampai tingkat nasional. Jika sudah mencapai usia 18 tahun, maka anak-anak ini harus meninggalkan sanggar dan dituntut untuk memulai kehidupannya sendiri. Patokan kelulusan hanya satu, jika mereka kembali ke jalanan, maka mereka tidak lulus. Tapi jika mereka tidak kembali ke jalanan, maka mereka dianggap lulus menempuh pendidikan. Yang paling membanggakan Didit adalah beberapa alumni SAA berhasil berdikari.

Adi Hartono, salah satu anak binaan SAA, diterima di Universitas Negeri Surabaya lewat jalur prestasi. Adi tinggal di SAA selama enam tahun dan hanya mengikuti kejar paket A dan B sebelum akhirnya diterima di Sekolah Menengah Kejuruan. “Adi yang sebelumnya anak jalanan bisa diterima di pendidikan formal, saya senang luar biasa,” ujar Didit.

Mu’ad, anak binaan SAA lainnya, dua tahun lalu tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Mu’ad buta huruf hingga usia 16 tahun. Namun kini Mu’ad telah menjelma menjadi pemuda percaya diri yang terampil menggunakan komputer.

Pemerintah Kota Surabaya sangat mengapresiasi langkah Didit, apalagi program rumah singgah dinas sosial lebih banyak gagalnya. SAA telah menjadi rujukan bagi mahasiswa dan dosen yang meneliti metode pendidikan anak jalanan. Didit mengibaratkan anak-anak jalanan bagaikan alang-alang. Dan alang-alang binaannya ini akan memiliki tempat tersendiri di masyarakat.

Sumber : kompas
Halaman :
1

Ikuti Kami